TAHUN 2014/2015
KELOMPOK
1
A. Pengertian Ulumul
Qur’an
Istilah ulumul quran berasal dari bahasa arab yang terdiri dari
dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Quran”. Kata ulum adalah bentuk jamak dari kata
ilm yang berarti ilmu-ilmu. Secara bahasa ulumul quran berati ilmu-ilmu
al-quran. Kata “ulum” yang didasarkan pada kata “AL-quran” telah memberikan
pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan
dengan al quran, baik dari segi keberadaanya sebagai al quran maupun dari segi
pemahamanya terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian,
ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu rasmil quran, ilmu I’jazil quran, dan ilmu yang
kaitanya dengan al quran menjadi bagian dari ulumul quran.
B. Sejarah dan Latar Belakang Ulumul Qur’an
1.
Sejarah Ulumul Qur’an
Di permulaan lahirnya Islam-masa Nabi
dan sahabat,istilah-istilah Ulumul Qur’an sebagai sebuah disiplin ilmu tertentu
belumlah dikenal. Pada umumnya para sahabat mempunyai kemampuan memahami
Al-qu’an dengan baik. Jika mereka menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat
tertentu,mereka dapat menanyakannya langsung kepada Nabi. Misalnya,ketika
mereka menanyakan firman Allah dalam QS. al-An’am ayat 82 tentang pengertian zhulm,Nabi menjawabnya dengan
berdasarkan kepada surat Luqman ayat 13 bahwa zhulm itu adalah syirk.
Dengan demikian sangat wajar jika ilmu-ilmu Al-qur’an pada masa Nabi
Muhammad belum di bukukan mengingat kondisinya belum membutuhkan disebabkan
kemampuan para sahabat yang cukup mapan dalam menghafal Al-qur’an. Disamping
itu,kemampuan mereka dalam menulis relatif sedikit,bahkan kettika itu ada
larangan dari Nabi Muhammad untuk menuliskan selain Al-qur’an.
Umat islam semakin berkembang seiring dengan semakin luasnya kekuasaan islam hingga mencapai luar
Arabia,terutama dimasa ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka yang tidak menguasai bahasa
Arab sering melakukan kesalahan dalam membaca Al-qur’an karena mereka tidak
mengerti perubahan-perubahan bacaan akhir kalimat dalam Al-qur’an (I’rab). Sedangkan Al-qur’an ketika itu
belum diberi harakat atau tanda baca lainnya untuk memudahkan membaca
Al-qur’an. Oleh karena itu,’Ali memerintahkan Abu al-Aswad al-Dualiy (w.619 H.)
untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab dalam upaya bahasa Al-qur’an. Tindakan
‘Ali ini kemudian dianggap sebagai perintis lahirnya ‘Ilm al-Nahw dan ‘Ilm I’rab
Al-qur’an.
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Khulafa Rasyidin,pemerintahan
islam dilanjutkan oleh penguasa Bani Umayyah. Upaya pengembangan dan
pemeliharaan Ulumul Qur’an di kalangan sahabat dan tabi’in semakin
marak,khususnya melalui periwayatan sebagai awal dari usaha pengkodifikasian.
Tokoh penting sebagai perintis dalam usaha periwayatan adalah sahabat besar
yang empat, Ibn ‘Abbas,Ibn Mas’ud,Zaid bin Tsabit,Ubay bin Ka’b,Abu Musa
al-Asy’ariy dan Abd Allah bin Zubair (kalangan sahabat); Mujahid,’Atha bin Abi
Rabbah,Ikrimah (maula Ibn ‘Abbas),Qatadah,Hasan al-Bashr,Sa’id bin Zubair,Za’id
bin Aslam di Madinah (kalangan tabi’in). Mereka mempelopori lahirnya disiplin
ilmu yang dinamai ‘Ilm Asbab al-Nuzul,’Ilm
al-Makiy wa al-Madaniy,’Ilm al-Nasikh wa al-Mansukh,’Ilm Gharib Alqur’an,’Ilm
al-Tafsir dan sebagainya.
2. Latar Belakang Ulumul Qur’an
Istilah Ulumul
Qur’an pertama kali yaitu pada abad ke-7 H. Alasannya,karena pada akhir abad
tersebut mulai ada kitab yang memakai istilah Ulumul Qur’an yaitu kitab Funun
al-Afnan fi ‘Ulum Al-qur’an dan kitab Mujtaba’ fi ‘Ulum Tata’allaq bi Al-qur’an
yang ditulis oleh Abu al-Faraj ibn al-Jawziy (w. 597 H.).
Pendapat lain bahwa
mengatakan bahwa istilah Ulumul Qur’an lahir pada permulaan abad ke-5 H,tetapi
ada juga yang mengatakan bahwa Ulumul Qur’an lahir sejak abad ke-3 H, yaitu
dengan munculnya karya Ibn Marzuban yang dalam kitabnya telah menggunkan
istilah Ulumul Qur’an, al-Hawiy fi ‘Ulumul Qur’an.
C. Perkembangan
Ulumul Qur’an
1. Perkembangan ‘Ulumulul Qur’an Abad II H.
Tentang
masa penyusunan ilmu-ilmu agama yang dimulai sejak permulaan abad II H. para
ulama memberikan prioritas atas penyusunan tafsir sebab tafsir merupakan induk
‘Ulumul Qur’an. Di antara ulama abad II H. yang menyusun tafsir adalah: Yazid
bin Harun Al- salami (w. 117 H), Syu’bah Al-Hjjaj (w. 160 H.), Sufyan bin
‘Uyainah (w. 198 H.), Sufyan Ats-Tsauri (w. 161 H.), Waqi’ bin Al-jarrh
(128-197 H.), Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H.), Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310
H.).
2. Perkembangan ‘Ulumul Qur’an Abad III H.
Pada
abad III H. selain tafsir dan ilmu tafsir, para ulama mulai menyusun pula
beberapa ilmu Al-Qur’an (Ulumul Qur’an), di antaranya: ‘Ali bin al-MAdini (w.
234 H.), gurunya Imam Al-Bukhari, yang menyusun Ilmu Asbab An-Nuzul, Abu ubaid
al-qasimi bin salam (w. 224 H.) yang menyusun Ilmu Nasikh Wa Al-Mansukh, Ilmu
Qira’at, dan Fadha’il Al-Qur’an, Muhammad bin ayyub adh-durraits (w. 294 H.)
yang menyusun Ilmu Makki wa Al-Madani, Muhammad bin Khalaf Al-Marzuban (w. 309
H.) yang menyusun kitab Al-Hawi Fi’
‘Ulum Al-Qur’an.
3.
Perkembanga Ulumul Qur’an abad IV H.
Pada abad IV H. mulai disusun Ilmu Gharib Al-Qur’an dan
beberapa kitab Ulumul Qur’an dengan memakai istilah ‘Ulum Al-Qur’an. Diantara
ulama yang menyusun ilmu-ilmu itu adalah: Abu Bakar As-Sijistani (w.330 H.)
yang menyusun kitab Gharib Al-Qur’an,
Abu bakar Muhammad bin Al-Qasim Al-Anbari (w. 328 H.) yang menyusun kitab ‘Aja’ib ‘Ulum Al-Qur’an, Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari (w. 324 H.) yang menyusun kitab Al-Mukhtazan fi’ ‘Ulum Al-Qur’an, Abu Muhammad Al-Qassab
Muhammad bin Ali Al-Kurkhi (w. 360 H.) yang menyusun kitab Nukat Al-Qur’an Ad-Dallah ‘Ala Al-Bayan
fi Anwa’ Al-‘Ulum Wa Al-Ahkam
Al-Munbi’ah ‘An Ikhtilaf Al-Anam, Muhammad bin ‘Ali Al-Adfawi (w. 388
H.) yang menyusun kitab Al-Istighna’
fi’ ‘Ulum Al-Qur’an (20 jilid).
4.
Perkembangan Ulumul Qur’an Abad V H.
Pada abad V H. mulai disusun Ilmu I’rab Al-Qur’an dalam satu
kitab. Di samping itu, penulisan kitab – kitab Ulumul Qur’an masih terus
dilakukan oleh ulama masa ini. Di antara ulama ulama yang berjasa dalam
pengembangan Ulumul Qur’an pada masa ini adalah : ‘Ali bin Ibrahim bin Sa’id
al-Hufi (w. 430 H.), selain mempelopori penyusunan I’rab Al-Qur’an, ia pun
menyusun kitab Al-Burhan fi’Ulum
Al-Qur’an., Abu ‘Amr Ad-Dani (w. 444 H.) yang menyusun kitab At-Taisir fi Qira’at As-Sab’i dan
kitab Al-Muhkam fi An-Naqth
5. Perkembangan Ulumul Qur’an Abad
VI H.
Pada abad VI H. di samping terdapat ulama yangbmeneruskan
pengembangan Ulumul Qur’an, juga terdapat ulama yang mulai menyusun ilmu
Mubhamat Al-Qur’an, di antaranya adalah:Abu Al-Qasim bin ‘Abdurrahman
As-Suhaili (w. 581 H.) yang menyusun kitab Mubhamat Al-Qur’an, Ibn Al-jauzi (w. 597 H.) yang menyusun kitab
Funun Al-Afnan fi ‘Aja’ib Al-Qur’an dan
kitab Al-Mujtaba’ fi ‘Ulum Tata’allaq
bi Al-Qur’an.
6. Perkembangan Ulumul Qur’an Abad
VII H.
Pada abad VII H. ilmu-ilmu Al-Qur’an terus berkembang dengan
mulai tersusunnya Ilmu Majas Al-Qur’an dan Ilmu Qira’at. Di antara ulama abad
VII yang besar perhatiannya terhadap ilmu-ilmu ini adalah: Alamuddin As-Sakhawi
(w. 643 H.), kitabnya mengenai ilmu Qira’at dinamai Hidayat Al-Murtab fi Mutasyabih, Ibn ‘Abd As-Salam yang terkenal
dengan nama Al-‘Izz (w. 660 H.)
yang mempelopori penulisan ilmu Majaz Al-Qur’an dalam satu kitab, Abu Syamah
(w. 655 H.) yang menyusun kitab Al-Mursyid
Al-Wajiz fi ‘Ulum Al-Qur’an Tata’allaq bi Al-Qur’an Al-‘Aziz.
7.
Perkembangan Ulumul Qur’an Abad VIII H.
Pada abad VII H. muncullah beberapa ulama yang menyusun
ilmu-ilmu baru tentang Al-Qur’an, sedangkan penulisan kitab-kitab tentang
Ulumul Qur’an terus berjalan. Di antara mereka adalah: Ibn Abi Al-isba’ yang
menyusun ilmu Badai’i Al-Qur’an, Ibn Al-Qayyim (w. 752 H.) yang menyusun ilmu
Aqsam Al-Qur’an, Najmuddin ath-Thufi (w. 716 H.) yang menyusun Ilmu Hujaj
Al-Qur’an atau Ilmu Jadal Al-Qur’an, Abu Al-Hasan Al-Mawardi, yang menyusun
Ilmu Amtsal Al-Qur’an, Badruddin Az-Zarkasyi (745-794 H.) yang menyusun kitab Al-Burhan fi ‘ulum Al-Qur’an,
Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah Al-Harrani (w. 728 H.) yang menyusun kitab Ushul Al-Tafsir
8. Perkembangan Ulumul Qur’an Abad
IX dan X H
Pada abad IX dan permulaan abad X H., makin banyak karangan
yang ditulis ulama tentang Ulum Al-Qur’an. Pada masa ini, perkembangan Ulumul
Qur’an mencpai kesempurnaannya. Di antara ulama yang menyusun Ulumul Qur’an
pada masa ini adalah: Jalaluddin Al-Bulqni (w. 824 H.) yang menyusun kitab Mawaki’ Al-‘Ulum min Mawaqi’ al-Nujum, Muhammad
bin Sulaiman Al-Kafiyaji (w. 879 H.) yang menyusun kitab At-Taisir fi Qawa’id At-Tafsir,
Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Kamaluddin As-Suyuthi (849-911H.) yang menyusun
kitab Ath-TAhbir fi ‘Ulum At-Tafsir
9. Perkembangan Ulumul Qur’an Abad
XIV H.
Setelah memasuki abad XIV H., bangkitlah kembali perhatian
ulama dalam penyusunan kitab-kitab yang membahas Al-Qur’an dari berbagai segi.
Kebangkitan ini di antaranya dipicuh oleh kegiatan ilmiah di Universitas
Al-Azhar Mesir, terutama ketika universitas ini membuka jurusan-jurusan bidang
studi yang menjadikan tafsr dan hadits sebagai salah saatu jurusannya.
D. Objek pembahasan
ulumul quran
Ulumul
Qur’an secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, yaitu: ‘ilm al-riwayah dan
‘ilm dirayah. ‘ilm al-riwayah adalah ilmu-ilmu Al-Qur’an yang diperoleh dengan
cara periwayatan (naql).
T.M.
Hasbi al-Shiddiqiy membagi Ulumul Qur’an kepada 15 macam ilmu diantaranya:
1.
Ilmu
Mawathin al-Nuzul adalah Ilmu ini menerangkan tempat-tempat turun ayat, masanya,
awalnya, dan akhirnya.
2.
Ilmu
tawarikh al-Nuzul adalah Ilmu ini menjelaskan masa turun ayat dan urutan
turunnya satu persatu, dari permulaan sampai akhirnya serta urutan turun surah
dengan sempurna.
3.
Ilmu
Asbab al-Nuzul adalah Ilmu ini menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat.
4.
Ilmu
Qiraat adalah Ilmu ini menerangkan bentuk-bentuk bacaan Al-Qur’an yang telah
diterima dari Rasul SAW. Ada sepuluh Qiraat yang sah dan beberapa macam pula
yang tidak sah.
5.
Ilmu
Tajwid adalah Ilmu ini menerangkan cara membaca Al-Qur’an dengan baik. Ilmu ini
menerangkan di mana tempat memulai, berhenti, bacaan panjang dan pendek, dan
sebagainya.
6.
Ilmu
Gharib Al-Qur’an adalah Ilmu ini menerangkan makna kata-kata yang ganjil dan
tidak terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab yang biasa atau tidak terdapat
dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini berarti menjelskan makna kata-kata yang
pelik dan tinggi.
7.
Ilmu
I’rab Al-Qur’an adalah Ilmu ini menerangkan baris kata-kata Al-Qur’an dan
kedudukannya dalam susunan kalimat.
8.
Ilmu
Wujuh wa al-Nazair adalah Ilmu ini menerangkan kata-kata Al-Qur’an yang
mengandung banyak arti dan menerangkan makna yang dimaksud pada tempat
tertentu.
9.
Ilmu
Ma’rifah al-Muhkam wa al-Mutasyabih adalah Ilmu ini menjelaskan ayat-ayat yang
dipandang muhkam (jelas maknanya) dan yang mutasyabihat (samar maknanya, perlu
ditakwil).
10. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh adalah Ilmu
ini menerangkan ayat-ayat yang dianggap mansukh (yang dihapuskan) oleh sebagian
mufassir.
11. Ilmu Badai’ Al-Qur’an adalah Ilmu
ini bertujuan menampilkan keindahan-keindahan Al-Qur’an dari sudut
kesusastraan, keanehan-keanehan, dan ketinggian balaghahnya.
12. Ilmu I’jaz Al-Qur’an adalah Ilmu ini
menerangkan kekuatan susunan dan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga dapat
membungkam para sastrawan Arab.
13. Ilmu Tanasub Ayat Al-Qur’an adalah
Ilmu ini menerangkan persesuaian dan keserasian antara suatu ayat dan ayat yang
didepan dan yang dibelakangnya.
14. Ilmu Aqsam Al-Qur’an adalah Ilmu ini
menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur’an.
15.
Ilmu
Amtsal Al-Qur’an adalah Ilmu ini menerangkan maskud perumpamaan-perumpamaan
yang dikemukan Al-Qur’an.
KELOMPOK
2
A. MAKNA AL-QUR’AN
Dari
segi bahasa, terdapat berbagai pendapat para ahli mengenai pengertian
Al-Qur’an. Sebagian berpendapat, penulisan lafal Al-Qur’an dibubuhi huruf
hamzah. Pendapat lain mengatakan penulisannya tanpa dibubuhi huruf hamzah.
Asy-Syafi’i, al-farra dan al-syi’ari termasuk di antara ulama yang berpendapat
bahwa lafal Al-Qur’an di tulis tanpa huruf hamzah.
Al-syafi’i
mengatakan, lafal Al-Qur’an yang terkenal itu musytaq (pecahan dari akar kata
apapun) dan bukan pula berhamzah (tanpa tambahan huruf hamzah di tengahnya,
jadi dibaca Al-Quran), menurutnya lafal tersebut bukan berasal dari akar kata
qara-a (membaca), sebab kalau akar katanya qara-a, tentu tiap suatu yang dibaca dapat dinamai
Al-Qur’an.
Dari segi istilah para ahli memberikan
definisi Al-Qur’an sebagai berikut :
a.
Menurut manna’ al-Qaththan, Al-Qur’an adalah
kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan membacanya adalah
ibadah.
b.
Menurut al-Zarqani, Al-Qur’an itu adalah lafal yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dari permulaan surah Al-Fatihah sampai
akhir surah An-Nas.
c.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, Al-Qur’an adalah
firman Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, Muhammad bin Abdullah
melalui al-Ruhul Amin (Jibril as) dengan lafal-lafalnya yang berbahasa arab dan
maknanya yang benar, agar ia menjadi Hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-benar
Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka,
dan menjadi sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. (Nata, 1996 : 51-56).
B. NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALQUR’AN
Allah sendiri yang
menamakan apa-apa yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya itu, Al-Qur’an, Kitab ,
Furqan, Zikr, dan Qaul. Seluruh nama-nama ini tersimpul dalam suatu lafaz yaitu
Al-Qur’an. Dan lafaz Al-Qur’an ini terdapat pada tujuh puluh ayat.
Keseluruhannya itu terang dan jelas, nama ini berdasarkan dalil-dalil khusus.
Oleh sebab itu lafaz Al-Qur’an itu banyak ditulis orang. Untuk kitabullah ini,
makna nama Al-Qur’an inilah yang biasa disebut orang, biasa diucapkan oleh nabi
dan nama ini dipelihara oleh kaum muslimin. Menurut Imam Syafi’i nama Al-Qur’an
itu khusus terambil dari perkataan Allah. Bukan mahmuz dan bukan pula terambil
dari lafadz qara-a (qiraah). Tapi adalah nama untuk kitab Allah, seperti halnya,
Taurat dan Injil.
- NAMA-NAMA LAIN AL-QUR’AN
a.
Al-Kitab (buku)
b.
Al-Furqan (pembeda benar salah)
c.
Adz-Dzikr (pemberi peringatan)
d.
Al-Mau’idhah (pelajaran/nasehat)
e.
Asy-Syifa’ (obat/penyembuh)
f.
Al-Hukm (peraturan/hukum)
g.
Al-Hikmah (kebijaksanaan)
h.
Al-Huda (petunjuk)
|
i.
At-Tanzil (yang diturunkan)
j.
Ar-Rahmat (karunia)
k.
Ar-Ruh (ruh)
l.
Al-Bayan (penerang)
m.
Al-Kalam (ucapan/firman)
n.
Al-Busyra (kabar gembira)
o.
An-Nur (cahaya)
p.
Al-Basha’ir (pedoman)
|
2. SIFAT-SIFAT
AL-QUR’AN
a. Nuur
b.
Mubin
c.
Huda
d.
Syiifa
|
e.
Rahmah
f.
Mau’idzah
g.
Basyir
h.
Nazir
|
C.
PERBEDAAN HADIS
QUDSIY DAN HADIS NABAWI
Rasul
SAW kadang menyampaikan kepada para sahabat nasehat-nasehat dalam bentuk wahyu,
akan tetapi wahyu tersebut bukanlah bagian dari ayat Al-Qur’an. Itulah yang
yang biasa disebut dengan Hadis Qudsiy atau sering disebut juga dengan Hadis
Ilahy atau Hadis Rabbany.
Yang
dimaksud dengan Hadis Qudsiy yaitu : “setiap Hadis yang Rasul menyandarkan
perkataannya kepada Allah ‘Azza wa jalla”
Jumlah
Hadis Qudsiy ini menurut Syihab Al-Din ibnu Hajar Al-Haytami dalam “Kitab
Syarah Arba’in Al-Nawawiyah” tidak cukup banyak yaitu berjumlah lebih dari
seratus hadis.
Hadis
Qudsiy ini biasanya bercirikan sebagai berikut :
a.
Ada redaksi hadis qala/yaqulu Allahu
b.
Ada redaksi fi ma rawa/yarhiwi ‘anillahi tabaraka wa
ta‘ala
c.
Dengan redaksi lain yang semakna dengan redaksi di
atas, setelah selesai menyebutkan rawi yang menjadi sumber pertamanya, yakni
sahabat.
Bila
tidak ada tanda-tanda demikian, biasanya termasuk Hadis Nabawi.
(Suparta,
2011 : 16-17).
Perbedaan
antara Hadis Qudsiy dan Hadis Nabawi lainya adalah bahwa yang terakhir
dinisbatkan kepada Rasul SAW dan diriwatkan dari beliau. Sedang hadis Qudsiy
dinisbatkan kepada Allah SWT. (Al-Khatib, 1998).
D.
KARAKTERISTIK
AL-QUR’AN
Istilah kunci dalam Al-Qur’an
yang tidak boleh diabaikan adalah konsep tentang surah dan ayat. Kedua istilah
ini merupakan istilah teknis yang merujuk pada bagian-bagian tertentu dalam
Al-Qur’an yang dengan sendirinya melekat dan menjadi hal yang tak terpisahkan
dengan Al-Qur’an.
a.
Surah
Istilah
surah merupakan nama yang dipakai untuk merujuk “bab” dalam Al-Qur’an. Mengacu
pada perhitungan Mushaf Usmani, keseluruhan surah Al-Qur’an berjumlah 144.
b.
Ayat
Ketika mendengar
kata “ayat” disebut, seketika pemahaman kita terfokus pada surah. Memang,
“ayat” oleh sebagian ahli tafsir diartikan dengan “beberapa jumlah atau susunan
perkataan yang mempunyai awal dan akhir yang dihitung sebagai suatu bagian dari
surah”. Di dalam Al-Qur’an, kata “ayat”
muncul sekitar 400 kali, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Urutan ayat-ayat Al-Qur’an diyakini oleh
seluruh umat Islam dilakukan berdasar atas tauqifi.
Artinya, dilakukan atas petunjuk Nabi Muhammad yang diterima dari Allah melalui
perantara malaikat jibril. (Faizah, 2008
: 112-129)
Dr. Yusuf Qaradhawi memaparkan beberapa karakteristik
Al-Quran dalam kitabnya ” Kaifa Nata’amal ma’al al-Quran“,( Bagaimana
berinteraksi dengan Al-Quran), secara singkatnya sebagai berikut :
1. Al-Quran
adalah Kitab Ilahi
2. Al-Quran
adalah Kitab Suci yang terpelihara
3. Al-Quran
adalah Kitab suci yang menjadi Mukjizat
4. Al-Quran
adalah Kitab Suci yang menjadi Penjelas dan dimudahkan Pemahamannya
5. Al-Quran
adalah Kitab Suci yang Lengkap
6. Al-Quran
adalah Kitab Suci Seluruh Zaman
7. Al-Quran
adalah Kitab suci bagi Seluruh Umat Manusia
KELOMPOK 3
A. Pengertian I’jaz
dan Mukjizat
1. I’jaz
Dari segi
bahasa (etimologi), i’jaz berasal dari kata a’jaza yu’jizu i’jazan yang
artinya melemahkan, memperlemah, atau menetapkan kelemahan. Kata i’jaz sendiri
awalnya berasal dari kata dasar a’jaza ya’jizu yang
artinya lemah atau tidak mampu. Seperti dalam contoh a’jaztu zaidan “aku mendapati
Zaid tidak mampu”. Sedangkan menurut istilah i’jaz didefinisikan oleh Manna
Khalil al Qaththan dan Ali al-Shabuny dalam tulisan Usman. Manna Khalil
al-Qaththan mendefinisikan i’jaz sebagai “menampakan kebenaran Nabi saw dalam
pengakuan orang lain.
2. Mukjizat
Kata mukjizat
dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “kejadian ajaib yang sukar
dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Kata mukjizat terambil dari kata bahasa
arab (a’jaza) yang berarti “melemahkan atau menjadikan tidak mampu”. Pelakunya
(yang melemahkan) dinamai mu’jiz dan apabila kemampuannya melemahkan pihak lain
amat menonjol sehingga mampu membungkamkan lawan, ia dinamai mu’jizat. Mukjizat
didefinisikan oleh pakar agama islam, antara lain, sebagai “suatu hal atau
peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi, sebagai
bukti kenabiannnya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau
mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak melayani tantangan itu”.
B.
Pembagian
Jenis Mukjizat
1.
Mu’jizat Material Indrawi Artinya Mukjizat yang
tidak kekal
2.
Mukjizat Immaterial Artinya Mukjizat
ini bersifat kekal dan berlaku sepanjang jaman
C. Perbedaan Al-Quran dengan
Mukjizat lainnya
Ada beberapa perbedaan besar
antara mukjizat Al-Quran dengan mukjizat para Nabi-nabi sebelumnya, antara lain
:
·
Mukjizat Nabi
sebelumnya bersifat fisik (hissiyah)
·
Mukjizat
Nabi-nabi sebelumnya terfokus pada ‘penakjuban pandangan’,
D. Sisi-sisi Mukjizat Al-Qur’an
1. Gaya Bahasa
Gaya bahasa
Al-Qur’an membuat orang Arab pada saat itu merasa kagum dan terpesona, bukan
saja orang-orang mukmin, tetapi juga bagi orang-orang kafir.
Karakteristik atau keistimewaan gaya bahasa al-Qur’an
:
Ø
Aransemen
suaranya sangat menakjubkan, konsonan dan vokalnya terbagi dan tersusun secara
variatif.
Ø
Wacana
untuk kalangan umum dan kalangan terbatas. Tidak ada seorang pun manusia yang
mampu menyajikan satu gaya bahasa yang ditunjukan untuk kalangan intelektual
sekaligus untuk kalangan awam.
Ø
Menyakinkan akal dan membuai perasaan.
Ø
Ringkas tapi jelas.
2. Susunan
Kalimat
Kendatipun
Al-Qur-an, hadis qudsi, dan hadis nabawi sama-sama keluar dari mulut nabiu,
terapi uslub(style) atau susunan bahasanya sangat jauh
berbeda.Uslub bahasa Al-Qur-an jauh lebih tinggi kualitasnya bila
dibandingkan dengan lainya. Al-Qur-an muncul denganuslub yang begitu
indah. Didalam uslub tersebut terkandung nilai-nilai istimewa yang
tidak akan pernah ada ucapan manusia.
3. Hukum
Illahi yang Sempurna
Al-Qur-an
menjelaskan pokok-pokok aqidah, norma-norma keutamaan, sopan-santun,
undang-undang ekonomi, politik, sosial, dan kemasyarakatan, serta hukum-hukum
ibadah. Al-Qur-an menggunakan dua cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan
hukum,
4. Ketelitian
Redaksinya
Ketelitian
redaksi Al-Qur-an bergantung pada hal berikut:
a.
Keseimbangan antara jumlah
bilangan kata dengan antonimnya.
Kata `Hayat'
(Hidup) dan `Maut' (Mati) masing-masing ditemukan sebanyak 145 kali.
Kata `Al Nafa'a' (Manfaat) dan `Al Madharrat' (Madharrat) masing-masing sebanyak 50 kali. Kata `Al Har' (Panas) dan `Al Bardu' (Dingin) masing-masing sebanyak 4 kali.
Kata `As Sholiha' (Kebajikan) dan `As Sayah' (Keburukan) masing-masing sebanyak 167 kali. Kata `At Thoma'ninah' (Kelapangan/ Ketenangan) dan `Adduk' (Kesempitan / Kekesalan) masing-masing sebanyak 13 kali. Kata `Arrobat' (Cemas / Takut) dan `Arrogho' (Harap / Ingin) masing-masing sebanyak 8 kali. Kata `Al Kafir' (Kafir) dan `Al Iman' (Iman) dalam bentuk difinite masing-masing sebanyak 8 kali, sedang dalam bentuk indifinite masing-masing sebanyak 17 kali. Kata `As Shufah' (Musim Panas) dan `As Syata' (Musim Dingin) masing-masing sebanyak 1 kali. Kata `Dunya' (Dunia) dan `Akherat' (Hari Kemudian) masing-masing sebanyak 115 kali. Kata Setan dan Malaikat masing-masing sebanyak 88 kali.
Kata `Al Nafa'a' (Manfaat) dan `Al Madharrat' (Madharrat) masing-masing sebanyak 50 kali. Kata `Al Har' (Panas) dan `Al Bardu' (Dingin) masing-masing sebanyak 4 kali.
Kata `As Sholiha' (Kebajikan) dan `As Sayah' (Keburukan) masing-masing sebanyak 167 kali. Kata `At Thoma'ninah' (Kelapangan/ Ketenangan) dan `Adduk' (Kesempitan / Kekesalan) masing-masing sebanyak 13 kali. Kata `Arrobat' (Cemas / Takut) dan `Arrogho' (Harap / Ingin) masing-masing sebanyak 8 kali. Kata `Al Kafir' (Kafir) dan `Al Iman' (Iman) dalam bentuk difinite masing-masing sebanyak 8 kali, sedang dalam bentuk indifinite masing-masing sebanyak 17 kali. Kata `As Shufah' (Musim Panas) dan `As Syata' (Musim Dingin) masing-masing sebanyak 1 kali. Kata `Dunya' (Dunia) dan `Akherat' (Hari Kemudian) masing-masing sebanyak 115 kali. Kata Setan dan Malaikat masing-masing sebanyak 88 kali.
b.
Keseimbangan
jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.
Kata `Al Harot'
dan `An Naro'at' (Membajak/ Bertani) masing-masing sebanyak 14 kali. Kata `Al
Ajaba' dan `An Ghororoh' (Membanggakan Diri / Angkuh) masing-masing sebanyak 27
kali. Kata (Orang Sesat / Mati Jiwanya) masing-masing sebanyak 17 kali.
Kata (Quran, Wahyu, dan Islam, ) masing-masing sebanyak 70 kali. Kata (Akal dan Cahaya) masing-masing sebanyak 49 kali. Kata (Nyata) masing-masing sebanyak 16 kali.
Kata (Quran, Wahyu, dan Islam, ) masing-masing sebanyak 70 kali. Kata (Akal dan Cahaya) masing-masing sebanyak 49 kali. Kata (Nyata) masing-masing sebanyak 16 kali.
c.
Keseimbangan jumlah
bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan akibatnya.
Kata
(Menafkahkan) dengan (Kerelaan) masing-masing sebanyak 73 kali. Kata
(Kekikiran) dan (Penyesalan) masing-masing sebanyak 12 kali. Kata (Orang-orang
kafir) dan (Neraka/ Pembakaran) ) masing-masing sebanyak 154 kali. Kata (Zakat/
Pensucian) dan (Kebajikan yang banyak) ) masing-masing sebanyak 32 kali. Kata
(Kekejian) dan (Murka) ) masing-masing sebanyak 26 kali. Kata `Al Rijs' (Godaan
Syaithan dan Najis) dan `Al Rejz' (Siksa yang pedih) masing-masing sebanyak 10
kali. Kata `Ilm' (Mengetahui), `Ma'rifat' (Pengenalan Allah), dan `Iman'
(Keyakinan) masing-masing sebanyak 811 kali. Ini menunjukkan bahwa melalui
pengenalan kepada Allah dapat menghantarkan pada keyakinan yang teguh.
d.
Keseimbangan
jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.
Kata
(Pemborosan) dan (Ketergesa-gesaan) masing-masing sebanyak 23 kali. Kata
(Nasehat/ Petuah) dan (Lidah) masing-masing sebanyak 25 kali. Kata (Tawanan)
dan (Perang) ) masing-masing sebanyak 6 kali. Kata (Kedamaian) dan (Kebajikan)
) masing-masing sebanyak 60 kali.
Disamping keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbang
khusus:
1. Kata yawm (hari)
dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun,
sedangkan kata hari yang menunjukan bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni),
berjumlah tiga puluh, sama dengan jumnlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata
yang berarti bulan (syahr) hanya terdapat dua belas kali sama dengan jumlah
bulan dalam setahun.
2. Al-Qur-an
menjelaskan bahwa langit itu ada tujuh macam. Penjelasan ini diulangi sebanyak
tujuh kali pula, yakni dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 29,
surat Al-Isra [17] ayat 44, suratAl-Mukmin [23] ayat 86,
surat Al-Fushilat [41] ayat 12, surat Ath-Thalaq [65] ayat 12,
surat Al-Mulk [67] ayat 3, dan surat Nuh [71] ayat 15. Selain itu,
penjelasan tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula
dalam tujuh ayat.
3. Kata-kata
yang menunjukan kepada utusan Tuhan, baik rasul atau nabi atau basyir(pembawa
berita gembira) atau nadzir (pemberi peringatan), kesemuanya
berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama
nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518.
5. Berita tentang Hal-hal yang Gaib
Sebagaimana ulama mengatakan
bahwa sebagian mukjizat Al-Qur’an itu adalah berita gaib. Salah satu contohnya
adalah Fir’aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa. Hal ini, diceritakan dalam
surat Yunus (10) ayat 92:
“Maka pada hari Kami selamatkan badanmu
supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang datang sesudahmu dan
sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.”
Pada
ayat itu ditegaskan bahwa badan Firaun akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi
pelajaran bagi generasi berikutnya. Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut
karena telah terjadi sekitar 1.200 tahun SM. Pada awal abad ke-19, tepatnya
pada tahun 1896 di lembah raja-raja Luxor Mesir, seorang ahli purbakala Loret
menemukan satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia Firaun yang
bernama Muniftahyang pernah mengejar Nabi Musa a.s. selain itu pada
tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk
membuka pembalut-pembalut Firaun tersebut. Apa yang ditemukannya satu jasad
utuh, seperti yang diberitakan Al-Qur'an melalui Nabi yang ummy (tidak pandai membaca
dan menulis).
6. Isyarat-isyarat
Ilmiah
Banyak sekali isyarat
ilmiah yang ditemukan dala Al-Qur-an misalnya:
a. Cahaya
matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan. Terdapat
dalam Q.S. Yunus [10]: 5.
b. Kurangnya
oksigen pada ketinggian dapat menyesakan napas, hal ini terdapat
pada surat Al-An’am [6]: 25
c. Perbedaan
sidik jari manusia. Terdapat dalam suratAl-Qiyamah [75]: 4
d. Aroma/bau
manusia berbeda-beda. Terdapat dalamsurat Yusuf [12]: 94
7.
Memuat kisah-kisah umat terdahulu
Di dalam al-qur’an terdapat
sejarah perjalanan hidup para nabi yang dikenal luas oleh kalangan Ahli Kitab.
Padahal pembawa Al-Qur`an adalah Rasulullah saw yang ummi (buta huruf), tidak
bisa menulis dan membaca.
KELOMPOK
4
A. PENGERTIAN WAHYU
Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy,
dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing.
Satu kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga
mengandung arti bisikan,isyarat, tulian dan kitab. Al-wahy selanjutnya
mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata
itu lebih di kenal dalam arti “ apa yang di sampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”.
Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada
orang pilihanya agar diteruskan kepada umat manusia untuk di jadikan pegangan
hidup. Sabda tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang di perlukan
umat islam dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.
Menuurut
bahasa, wahyu mempunyai beberapa arti, antara lain sebagai berikut:
a) Berarti ilham gharizi atau instink yang terdapat pada manusia atau
binatang.
b) Berarti ilham fitri atau firasat
yang hanya ada pada manusia dan tidak pada binatang.
c) Berarti tipu
daya dan bisikan seta.
d) Berarti isyarat yang cepat secara rahasia, yang hanya tertuju pada
Nabi/Rasul saja.
PENYAMPAIAN
WAHYU KEPADA RASUL
Para ulama menyebutkan beberapa cara Rasulullah saw menerima
wahyu yang disampaikan oleh Jibril yakni:
- Melalui mimpi (mimpi yang benar di dalam tidur)
- Kalam Ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara.
- Penyampaian wahyu oleh malaikat kepada rasul ada kalanya tanpa perantara,ada kalanya juga dengan perantara.
- Jibril datang kepada rasulullah dengan menyamar sebagai seorang laki-laki, kemudian beliau bercakap-cakap dengan rasulullah menyadari bahwa yang datang itu adalah Jibril. Cara seperti ini adalah yang paling ringan bagi beliau menerimanya.
- Jibril memperlihatkan kepada nabi dalam rupa aslinya
B. PROSES TURUNNYA WAHYU MELALUI JIBRIL AS
Pada suatu malam
25, 27 atau 29 Ramadhan (15, 17 atau 19 januari tahun 611 masehi) telah datang
peristiwa yang tidak mungkin terlupakan dimana Allah SWT telah menurunkan wahyu
yang merupakan surat awalnya Al-Quran.
Dalam hal
menerima wahyu ini Sayidina Muhamad menceritakan sebagai berikut, “Aku sedang
tertidur di Gua Hira, ketika malaikat Jibril datang kehadapanku. Malaikat
Jibril itu memperlihatkan sehelai sutra panjang kehadapan mataku, sutra yang
ada tulisan dengan memakai tinta emas sambil menyuruhku ‘Baca’! katanya”. “saya
bukan termasuk golongan orang yang bisa membaca,” kataku. Malaikat Jibril
memegang badanku dan membungkusnya erat-erat dengan sutra tersebut, malahan mukaku
pun terbungkus erat sehingga nafasku sesak. Aku berfikir hari inilah aku mati.
Malaikat Jibril kemudian membuka ikatannya dan menyuruhku lagi ‘Baca’! Aku
menjawab seperti tadi. Malaikat jibril kemudian memiting aku keras keras
sehingga aku merasa bahwa hari inilah aku mati karena hamper tidak bisa
bernafas. Perlahan-lahan dia mengendorkan pitingannya dan untuk ketiga kalinya
dia menyuruhku lagi ‘Baca’! “Apa yang harus aku baca?”, kataku takut dibelit
sutra lagi. Akhirnya dia berkata ‘Baca’! seperti dalam surat Al Alaq : 1-5.
Saya mengikuti
apa yang dia ucapkan dan sesudah itu dia
menghilang, aku terbangun dalam keadaan kaget tetapi hatiku yakin bahwa apa
yang aku baca tadi merupakan suatu kitab yang sudah terparti dalam hatiku. Aku
keluar dari gua hira dan diatas gunung terdengar suara yang datang dari langit,
“Hai Muhammad, kamu ini Rasul Allah dan aku adalah Jibril, aku menengadah ke
langit yang ternyata penuh dengan Jibril
sekeliling langit yang kulihat, penuh sinarnya Jibril yang terang benderang.
Untuk kedua kalinya malaikat Jibril bersabda, “Muhammad kamu adalah utusan
Allah, ini aku Jibril!”sesudah itu hilang seperti telah terjadi dalam mimpiku.
Setelah itu
Rasulullah saw merasa sangat lelah sehingga setibah di rumahnya beliau berkata
kepada istrinya Khadijah, “ Selimuti aku, selimuti aku.” Beliau gemetar dan
merasa begitu takut, seluruh tubuhnya tearsa lelah karena jibril memeluknya
dengan erat akibatnya keringat bertetesan dari kening beliau. Jika dua unsur
tersebut bertemu yaitu unsur malaikat dan unsur manusia, akan terjadi beberapa
alternative yaitu,
Pertama, unsur malaikat
pindah kepada unsur manusia, yakni Jibril berupa seseorang laki-laki tampan
yang mengajar kata-kata kepada Nabi Muhammad sampai beliau hafal benar. Cara
ini tidak terlalu melelehkan.
Kedua, Rasulullah ( unsur
manusia ) berubah dan pindah kepada unsur malaikat ( agar bia berpadu ), dan
cara inilah yang paling di rasa berat dan melelahkan beliau.
Wahyu datang kepada beliau seperti
gemerincingya lonceng. Cara inilah yang di rasakan Nabi sangat berat hingga
kandang-kandang di kening beliau bercucucran keringat, mekipun waktu itu cuaca
begitu dingin.
Ketiga, malaikat memasukan wahyu ke
dalam hati beliau . Dalam hal ini Nabi saw. Tidak melihat sesuatu, tetapi hanya
memrasakan wahyu sudah ada dalam kalbunya. Mengenai hal itu beliau bersabda, “
Ruhul kudus mewahyukan ke dalam kalbu-ku”.
Keempat,
malaikat jibril menampakan diri kepada Nabi tidak berupa seorang laki-laki
tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli.
C.
TUDUHAN ORIENTALIS SEPUTAR WAHYU DAN BANTAHANYA
Orang-orang jahiliah, baik di
zaman dahulu, maupun sekarang ini dalam masalah wahyu, ada yang menyerupakan
wahyu dengan sesuatu. Sebenarnya orang ini sudah keterlaluan dan berlagak
sombong. Penyerupaan ini sebenarnya tidak beralasan. Karena itu harus di tolak.
Alasan penolakan itu,
1. Pertama,Mereka itu beranggapan bahwa
alqur’an itu Muhammad sendiri yang menciptakanya, baik arti maupun
metode-metode nya. Hadis bukan wahyu yang datangnya dari Allah SWT. Anggapan
ini adalah bahal ( tidak sah ) karena Nabi dalam menjalankan dakwah, dia
mengatakan bahwa dirinya itu adalah pemimpin. Dan dia besedia betanding dengan
orang-orang lain guna untuk menguatkan penderianya bahwa Al-qu’an itu adalah
ma’jaz. Kedua, Ada orang jahil beranggapan baik yang hidup di zaman dahulu
maupun yang berada di zaman modern sekarang ini mengatakan bahwa nabi Muhammad
itu mempunyai otak yang tajak, penglihatanya dapat menembus segala-galanya, firasatnya kuat,
cerdas, pintaranya bersih dan jujur.
2. Ketiga , menurut
anggapan orang-orang jahi , baik di zaman dahulu maupun di zaman mutkhir ini,
bahwa Muhammad itu mendapatkan ilmu yang berkenaan dengan Al-Quran itu dari
seorang guru . ini benar. Guru yang menyampaikan Al-Quran ini ialah Malaikat
wahyu (Jibril) .adapun guru lain baik
dalam kaum nya itu sendiri, ataupun yang bukan dari sukunya itu, maka ini
bukan. Nabi SAW dilahirkan sebagai orang yang umi, dan hidup dalam masyarakat
yang umi pula. Disini tidak di ketahui seorang
juapun yang mempunyai ilmu dan yang mengajar. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah.
KELOMPOK 5
A. Pengertian dan
Perbedaan Ayat Mekkah dan Madinah
Kata al-makki berasal dari
kata “Mekkah” dan al-madani berasal dari kata “Madinah”. Kedua kata
tersebut telah dimasuki “ya’” nisbah sehingga menjadi al-makkiy atau al-makkiyah
dan al-madaniy atau al-madaniyah. Secara harfiah, al-makki atau
al-makkiyah berarti “yang bersifat Mekkah” atau “yang berasal dari
Mekkah”, sedangkan al-madaniy atau al-madaniyah berarti “yang
bersifat Madinah” atau “yang berasal dari Madinah”. Maka ayat atau surah yang
turun di Mekkah disebut dengan al-makkiyah dan yang diturunkan di
Madinah disebut dengan al-madaniyah.
Ayat makkiyah ayat yang turun di
Mekkah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah, sedangkan
Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud,
Quba’, dan Sul’a. ada
tiga definisi (ta’rif) yang sering
dikemukakan para pakar dibidang ini,yaitu:
1)
Makiyyah adalah ayat-ayat
Al-Qur’an yang turun sebelum hijrah dan Madaniyyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an
yang turun sesudah hijrah. Ta’rif ini menetapkan, ayat-ayat yang turun setelah
hijrah , sekalipun itu terjadi disekitar Mekkah tetap diklasifikasikan sebagai
ayat Madaniyah.
2)
Makkiyah
adalah
ayat-ayat yang turun di Mekkah sekalipun turunnya ayat itu setelah hijrah. Dan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun di
Madinah.
3)
Makkiyah adalah
ayat-ayat yang khitabnya ditujukan kepada penduduk Mekkah, dan Madaniyah adalah ayat-ayat yang khitabnya ditujukan kepada
penduduk madinah.
Dari
pengetahuan mengenai Makiyyah dan Madaniyyah ini, sekurang-kurangnya akan
didapati tiga faidah, yaitu:
Pertama,mengetahui ayat-ayat mana saja yang nasikh dan ayat-ayat mana saja yang mansukh bila terlihat adanya dua ayat yang
berbeda pesan.
Kedua, bahwa makna dan pesan yang dikandung
ayat tertentu sering kali kalau tidak selalu berkaitan dengan sebab tertentu;
pada kasus dan tempat kejadian tertentu pula. Dengan adanya klasifikasi ini,
usaha memahami ayat Al-Qur’an secara benar akan sangat terbantu, dan kekeliruan
akan dapat ditekan sekecil mungkin.
Ketiga, bahwa kehidupan Rasulullah SAW adalah uswah hasanah, suri tauladan bagi setiap
Mukmin. Maka dengan melihat ayat-ayat yang turun di Makkah dan Madinah akan
diketahui pendekatan pembinaan pada pribadi maupun masyarakat yang berbeda
dengan Madinah. Dan kondisi umat maupun kalangan bukan muslim setelah
Rasulullah SAW. Hijrah ke Madinah berbeda dengan keadaanya ketika sebelum
Rasulullah hijrah. Dan, last but on
least, karakter penduduk Mekkah berdeda dengan penduduk Madinah.
Perbedaan
Ayat Mekkah dan Madinah
Berikut adalah rincian perbedaan
antara Surat Makkiyah dan Surat Madaniyah :
1.
Surat
Makiyyah penuh dengan syair dan ungkapan perasaan, sedangkan Surat Madaniyyah
mendalam,kuat dan kokoh.
2.
Surat
Makiyyah menggunakan kalimat yang sangat fasih dan baligh, sedangkan Surat
Madaniyyah menggunakan kalimat-kalimat ushul dan ungkapan-ungkapan
undang-undang (syariah).
3.
Surat
Makiyyah berisi nasihat, bimbingan,tauhid dan hari kiamat, sejarah umat-umat terdahulu,dan
azhab, sedangkan Surat Madaniyyah berisi hudud, fara’idh dan hukum.
4.
Surat
Makiyyah menggunakan banyak pemisah dan biasanya pendek-pendek, sedangkan Surat
Madaniyyah tidak terlalu banyak menggunakan sajak dan pemisahnya selalu panjang.
5.
Surat
Makiyyah tidak berisi debat dan dialog dengan kaum Yahudi dan Nasrani, sedangkan
Surat Madaniyyah banyak berisi debat dan dialog dengan kaum Yahudi dan Nasrani.
6.
Surat
Makiyyah mengandung sedikit saja perintah untuk amal dan ibadah, fokusnya pada
masalah akidah dan tauhid, sedangkan Surat Madaniyyah mengandung perintah untuk
beramal dan beribadah
7.
Surat
Makiyyah tidak membahas masalah jihad, hanya membahas soal dakwah, tabligh,
nasihat, dan kata-kata yang halus,sedangkan Surat Madaniyyah mengandung
perintah untuk berjihad, menjelaskan hokum jihad dengan perintah dakwah,
tablig, dan irsyad.
B. Kekhususan
dan Ciri-Ciri Ayat Mekkah dan Madinah
Makiyyah:
1.
Setiap surah yang padanya
terdapat kata kalla sebagian besar
ayatnya – kalau tidak semua – Makiyyah.
2.
Setiap surah yang padanya
terdapat sujud tilawah, sebagian
besar ayatnya – kalau tidak semua – Makiyyah.
3.
Semua surah yang di awali huruf tahajji seperti qaf (ق) nun ( ن), ha mim (حم) adalah Makiyyah.
4.
Semua surah yang memuat kisah
Adam dan Idris – kecuali surat Al-Baqarah – adalah Makiyyah.
5.
Semua surah yang memuat kisah
para nabi dan umat-umat terdahulu adalah Makiyyah
6.
Semua surah yang di dalamnya
terdapat khithab (seruan) kepada manusia (wahai semua manusia. . . . . ) adalah
Makiyyah.
7.
Semua surah yang menyeru dengan
kalimat “Anak Adam” adalah Makiyyah.
8.
Semua surah yang isinya memberi
penekanan pada masalah akidah adalah Makiyyah.
9.
Ayat-ayatnya pendek-pendek. Tetapi versi lain menyebutkan bahwa ada perkecualian, yakni
untuk surat maryam ayat 98, ar-ra’d:15, dan al-hajj ayat 18 dan 77.
Madaniyyah:
1.
Mengandung ketentuan-ketentuan
faraid dan had.
2. Mengandung
sindiran-sindiran terhadap kaum munafik, kecuali surat Al-Ankabut [29].
3. Mengandung
uraian tentang perdebatan dengan Ahli Kitabin.
4. Semua
surah yang ada padanya terdapat kalimat “orang-orang yang beriman” adalah
Madaniyyah.
5. Semua
surah yang memuat bantahan terhadap Ahlu Al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah
Madaniyyah.
6. Semua
surat yang memuat hokum syara’, seperti ibadah, ma’amalah dan al-ahwal
al-syakhshiyah adalah Madaniyyah.
7. Ayat-ayat
Madaniyyah pada umumnya panjang-panjang.
Contoh surat Makkiyah dan Madaniyah
Berikut merupakan surat-surat yang tergolong Makkiyah dan Maddaniyah.
Surat-surat
Makkiyah : Al-Fatehah, Al-An’aam, Al-A’raaf, Yunus,Huud,Yusuf, Ibrahim,
Al-Hijr, An-Nahl, Al-Isroo’, Al-Kahfi, Maryam, Thaha, Al-Anbiya’, Al-Mu’minuun,
Al-Furqaan, Asy-Syu’aro’, An-Naml, Al-Qashash, Al-Ankabuut, Ar-Ruum, Luqman, As-Sajdah,
Sabaa, Al-Faathir, Yaasiin, Ash-Shaffaat, Shaad, Az-Zumar, Ghaafir, Fushshilat,
Asy-Syuuroo, Az-Zukhruf, Ad-Dukhoon, Al-Jaatsiyah, Al-Ahqaaf, Qaaf,
Adz-Dzaariyaat, Ath-Thuur, An-Najm, Al-Qamar, Al-Waaqi’ah, Al-Mulk, Al-Qalam,
Al-Haaqqah, Al-Ma’aarij, Nuuh, Al-Jin, Al-Muzzammil, Al-Muddatstsir,
Al-Qiyaamah, Al-Muraasalaat, An-Naba’, An-Naazi’aat ,Abasa,At-Takwiir,
Al-Infithaar, Al-Muthaffifiin, Al-Insyiqaaq,Al-Buruuj, Ath-Thaariq, Al-A’laa,
Al-Ghaasyiyah, Al-Fajr,Al-Balad, Asy-Syams, Al-Lail, Adh-Dhuhaa, Al-’Ashr,
At-Tiyn,Al-’Alaq, Al-Qadr, Al-’Aadiyaat, Al-Qaari’ah, At-Takatsur,
Al-Ashr,Al-Humazah, Al-Fiil, Quraisy, Al-Maa’uun, Al-Kautsar,
Al-Kaafiruun,Al-Masad, Al-Ikhlaash, Al-Falaq, An-Naas.
Surat-surat
Madaniyah : Al-Baqarah,Ali Imran,An-Nisaa’,Al-Maa`idah,Al-Anfaal,At-Taubah,
Ar-Ra’d, Al-Hajj, An-Nuur,Al-Ahzaab, Muhammad, Al-Fat-h, Al-Hujuroot,
Ar-Rahman, Al-Hadiid, Al-Mujaadalah, Al-Hasyr, Al-Mumtahanah, Ash-Shaf,
Al-Jumu’ah, Al-Munaafiquun, At-Taghaabun, Ath-Thalaaq, At-Tahriim, Al-Insaan,
Al-Bayyinah, Al-Zalzalah, An-Nashr.
C. Hikmah Mengetahui Ayat Mekkah Dan
Madinah
v Mengetahui mana yang diturunkan
lebih dahulu dan mana yang kemudian.
v Mengetahui nasikh (ayat yang
menghapus) dan mansukh (ayat yang di hapus).
v Meresapi gaya bahasa Al-Quran dengan
menghayati peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat Al-Quran (asbabun
nuzul) dan realita kaum muslim pada setiap periode sejarah.
v Menghayati perjalanan hidup
Rosulullah SAW melalui ayat Al-Quran.
v Mengetahui
kesungguhan para sahabat dan generasinya dalam menjaga otentisitas Al-Qur'an.
v Mengetahui
kronologis penurunan syariah yang berangsur-angsur.
KELOMPOK 6
A.
Ayat yang
turun pertama kali
1. Pendapat
yang paling sahih mengenai pertama kali turun ialah firman Allah:
Artinya :
“ Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lebih pemurah yang mengajar
manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. “ (Al- Alaq [96]:1-5).
2. Dikatakan
pula, bahwa yang pertama kali turun adalah surat Fatihah. Mungkin yang dimaksudkan adalah surat yang pertama kali
turun secara lengkap.
3. Disebutkan
juga bahwa yang pertama kali turun adalah Bismillahirrahmanirrohim,
karena bassmalah itu turun mendahului setiap surat. Pendapat pertama yang
didukung oleh hadits Aisyah itulah pendapat yang kuat dan Masyhur
B.
Ayat
yang terakhir kali diturunkan
Ayat yang terakhir turunnya ialah :
1.
Ada orang yang mengatakan bahwa
ayat yang terakhir turunnya ialah ayat yang mengenai riba. Menurut hadits
Bukhari dan Ibnu Abbas katanya, ayat di turunkan Allah kepada Muhammad saw
ialah ayat riba.
.
Artinya
: Hai orang-orang beriman, bertaqwalah
kamu kepada Allah dan tinggalkanlah riba. (QS 2 : 278)
2.
Adapula orang yang mengatakan
bahwa ayat terakhir di turunkan Allah ialah firman Allah yang artinya : Dan peliharalah dirimu (azab yang terjadi
pada) hari yang pada waktu itu kamu semua di kembalikan kepada Allah. (QS 2 :
281)
3.
Ada pula orang
yang mengatakan bahwa ayat terakhir di turunkan Allah yaitu ayat yang mengenai
utang piutang. Menurut hadits yang di rawikan dari Sa’id bin Al-Musayab
mengatakan bahwa telah sampai kepadanya berita Al-Qur’an mengenai janji di
Arasy itu ialah ayat yang mengenai utang piutang. Yang dimaksud ialah ayat yang
berbunyAdapula orang yang mengatakan bahwa ayat yang terakhir di turunkan ialah
ayat kalallah. Menurut hadits Syaikhan dari Al-Bara-a bin Azib, katanya, Ayat
terakhir diturunkan Allah yaitu ayat yang berbunyi:
Artinya : Mereka meminta fatwah kepadamu (tentang
kalallah) katakanlah, Allah memberikan fatwah kepadamu tentah kalallah. (QS 4 : 176)
4.
Ada pula orang yang mengatakan
bahwa ayat terakhir di turunkan ialah firman tuhan yang artinya : Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang
Rosul dari golongan kamu sendiri. (QS 9 : 128).
5.
Ada pula yang mengatakan bahwa
ayat terakhir turunnya surat Al Maidah. Sebagaimana hadits yang di rawikan
Tirmizi dan Hakim, Aisyah mengatakan, ‘Aku perkenannkan bahwa yang dimaksud
terakhir turunnya ialah ayat yang mengenai halal dan haram. Ayat ini tidak
menasihkan hukum.
6.
Ada pula orang yang mengatakan
ayat terakhir turunnya ialah firman Allah yang artinya : Maka tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman).
Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara
kamu, baik laki-laki maupun perempuan (karna) sebagian kamu adalah turunan dari
yang sebagian lagi. (QS 3 : 195).
7.
Adapula yang mengatakan, ayat
yang terakhir turunnya ialah ayat yang berbunyi:
Artinya : Dan barang siapa yang membunuh orang mukmin
dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam. Dia kekal di dalamnya, dan Allah
murka kepadanya dan mengutungkannya serta menyediakan azab yang besar baginya (QS
4 : 93).
C.
Hikmah
mempelajari ayat pertama dan terakhir pada Qur’an
a.
Menjelaskan perhatian yang di
peroleh Qur’an guna menjaganya dan menentukan ayat-ayatnya. Para sahabat telah
menghayati Qur’an ini ayat demi ayat, sehingga mereka mengerti kapan dan dimana
ayat itu di turunkan. Mereka telah menerima dari Rasulullah ayat-ayat Qur’an
yang diturunkan kepadanya dengan sepenuh hati, hati-hati dan percaya bahwa
Qur’an adalah dasar agama, penggerak iman, dan sumber kemuliaan serta
kehormatannya. Dan ini membawa akibat positif yaitu bahwa Qur’an selamat dari
perubahan dan kekacau balauan. “Sesungguhnya kami lah yang telah menurunkan
Qur’an, dan kami pula lah yang akan menjaganya.” (Al-Hijr [15]:9)
b.
Mengetahui rahasia
perundang-undangan Islam menurut sejarah sumbernya yang pokok. Ayat-ayat Qur’an
dapat mengatasi persoalan kejiwaan manusia dengan petunjuk ilahi dan
mengatarkannya dengan cara-cara yang bijaksana dan menempatkan mereka ke
tingkat kesempurnaan. Ia dapat bertahan dalam menetapkan hukum-hukum, sehingga
dengan demikian cara hidup mereka menjadi benar dan urusan masyarakat berada
pada jalan yang lurus.
c.
Membedakan yang nasikh dengan
yang mansukh. Kadang terdap;at 2 ayat atau lebih dalam 1 masalah, tetapi
ketentuan hukum dalam 1 ayat berbeda dengan ayat lain. Apabila diketahui mana
yang pertama diturunkan dan mana yang kemudian, maka ketentuan hukum dalam ayat
yang diturunkan kemudian menaskh (menghapus ketentuan ayat yang diturunkan
sebelumnya).
KELOMPOK 7
1. Pengertian asbabun nuzul
A. Pengertian Kebahasaan Asbab Al Nuzul
Dilihat dari segi bahasa, kata Nuzul berarti turunnya sesuatu dari
tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, seperti kalimat “ Nazala fulanu minal jibali” ( seseorang turun dari ayas gunung”).Bentuk tansirifnya yaitu” nazala ” berarti menggerakkan sesuatu dari tempat yang lebih tinggi ke
tempat yang lebih rendah, seperti kalimat “Anzala minas sama i” ( Allah menurunkan air dari langit ). Disamping
itu, kata nuzul juga terkadang digunakan untuk
maksud diam disuatu tempat atau daerah tertentu, seperti kalimat “ Nazalal amiru bil madinati anzala” ( penguasa itu berada atau bertempat tinggal di suatu kota).
B. Pengertian Istilah Asbab Al-Nuzul
Menurut Al-Zarqani dalam kitabnya Manahil Al-Irfan fi Ulum
Al-Quran,yang dimaksud dengan asbab nuzul adalah
peristiwa-peristiwa yang terjadi mengiringi ayat-ayat itu diturunkan untuk
membicarakan peristiwa tersebut,atau menjelaskan ketentuan hukumnya. Sementara
menurut Manna Al-Qahtan asbab nuzul adalah sebagai peristiwa yang
menyebabkan ayat-ayat Al-Quran itu diturunkan waktu kejadian peristiwa
tersebut,baik berupa pertanyaan maupun kasus-kasus tertentu.
2.
Metode Mengetahui Asbabun Nuzul
hadis-hadis tentang asbab nuzul tidak menyangkut tentang
ajaran keagamaan, tetapi sekedar mengemukakan tentang latar belakang, atau
berbagai peristiwa yang mengiringi turunnya ayat. Oleh sebab itu, kendati
lemah, hadis-hadis tersebut dapat digunakan, sebagai bahan referensi untuk
memahami pesan-pesan ayat Al-Quran.
Cara-cara melihat ungkapan asbab nuzul, secara umum disimpulkan oleh para ulama ada empat yaitu:
1.Diungkapkan dengan kata-kata sebab
2.Diungkapkan dengan kata fa ( maka )
3.Diungkapkan dengan kata nuzuli fi ...
4.Tidak diungkapkan dengan simbol-simbol kata di
atas,tetapi alur ceritanya menunjukkan sebagai ungkapan asbab nuzul
akibatnya”
3.
Manfaat Mengetahui Asbabun Nuzul
Ada beberapa manfaat mengetahui asbab nuzul, secara rinci
Al-Zarqani menyebutkan tujuh macam manfaat atau faidah, sebagai berikut :
a) Pengetahuan
tentang asbab nuzul membawa kepada pengetahuan
tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyariatkan agama-Nya melalui
Al-Quran. Pengetahuan yang demikian akan memberi manfaat baik bagi orang mukmin
atau non mukmin. Orang mukmin akan bertambah keimanannya dan mempunyai hasrat
yang keras untuk menerapkan hukum Allah dan mengamalkan kitabnya.
b) Pengetahuan
tentang asbab nuzul membantu dalam memahami ayat
dan menghindarkan kesulitan. Hal ini senada dengan pernyataan Ibnu Daqiq Al Id
ia berkata “ Ketrerangan tentang sebab turunnya ayat merupakan jalan kuat untuk
memahami makna-makna Al-Quran”.
c) Pengetahuan
tentang asbab nuzul dapat meng hususkan (takhsis)
hukum pada sebab menurut ulama’ yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan
adalah kehususan sebab dan bukan keumuman lafal.
d) Dengan
mempelajari asbab nuzul diketahui pula bahwa sebab turun ayat ini tidak pernah
dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya (
yang mengkhususkan ).
e) Denga
asbab nuzul, di ketahui orang yang ayat tertentu turun padanya secara tepat
sehinga tidak terjadi kesamaran bisa membawa penuduhan terhadap orang yang
tidak bersalah dan pembebasan orang yang salah.
f) Pengetahuan
tentang asbab nuzul akan mempermudah orang yang meng hafal Al-Qur’an serta
memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika
mengetahui sebab turunya.
4. Permasalahan
Yang berkaitan dengan Asbabun Nuzul
Asbab al nuzul sebagai suatu
peristiwa sejarah tentu memiliki problematika dalam mengungkapkan segala
peristiwa dan kejadian dari suatu sebab turunnya ayat Al-Qur’an. Tidak semua
hadis tentang asbab al nuzul sanadnya muttasil, tetapi ada
juga yang sanad periwayatannya terputus, atau kisah-kisahnya kurang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam
menelaah asbab al nuzul suatu ayat, diperlukan ketelitian
dalam rangka mendapatkan data yang akurat dan valid. Ada tiga hal
dari asbab al nuzul yang perlu mendapat perhatian, yaitu dari
segi redaksi, periwayatan, dan peristiwanya. Ketiga segi inilah yang
menjadi problematika asbab al nuzul.
KELOMPOK 8
A. Pengertian Pengumpulan
Al-Qur’an
pengumpulan
dalam hati hifzuhu ( menghafalnya
dalam hati). Jumâ’ul Al-Qur’an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalnya didalam
hati). Inilah makna yang di maksud dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi
senantiasa menggerak-gerakan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur’an
ketika Qur’an itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai.
pengumpulan dalam arti kitȃbatuhu kullihi
(penulisan Qur’an semuannya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan
surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah di tulis
dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat dan
surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua
surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua
surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
B. Tiga Tahapan Pengumpulan Al-Qur’an
Ada
tiga tahapan dalam pengumpulan al-Qur’an, yaitu pada masa Rasulullah, masa
khalifah Abu Bakar al-Siddiq, dan masa khalifah Utsman bin Affan.
1.
Pengumpulan al-Quran pada masa Rasulullah SAW
Rasullullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur'an
dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, 'Ubai bin K'ab dan Zaid
bin Sabit, bila ayat turun ia memerintahkan mereka menulisnya dan menunjukkan
tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu
penghafalan di dalam hati. Disamping itu sebagian sahabatpun menuliskan Qur'an
yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh nabi; mereka
menuliskannya pada pelepah kurma , lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun
kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang.
2. Pengumpulan Qur’an pada Masa Abu Bakar
Kaum muslimin melakukan konsensus untuk mengangkat Abu
Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah sepeninggal Nabi Saw. Pada awal pemerintahan
Abu Bakar, terjadi kekacauan akibat ulah Musailamah al-Kazzab beserta
pengikut-pengikutnya. Mereka menolak membayar zakat dan murtad dari Islam.
Pasukan Islam yang dipimpin Khalid bin al-Walid segera menumpas gerakan itu.
Peristiwa tersebut terjadi di Yamamah tahun 12 H. Akibatnya, banyak sahabat
yang gugur, termasuk 70 orang yang diyakini telah hafal al-Qur’an. Setelah syahidnya 70 huffazh,
sahabat Umar ibn Khattab meminta kepada khalifah Abu Bakar, agar al-Qur’an
segera dikumpulkan dalam satu mushaf. Dikhawatirkan al-Qur’an itu secara
berangsur-angsur hilang, seandainya al-Qur’an itu hanya dihafal saja, karena
para penghafalnya semakin berkurang. Awalnya khalifah Abu
Bakar itu menolak pendapat Umar untuk
mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat al-Qur’an, karena hal itu tidak
pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Hingga Allah melapangkan dada Abu
Bakar untuk menerima usulan ini. Lalu
beliau mengutus utusan menyampaikan kepada Zaid bin Tsabit. Zaid bin tsabit
adalah ahli penulis wahyu pada
zaman Rasul. Akan tetapi ia menolak hal itu
sebagaimana Abu Bakar menolak hal itu pada awalnya. Maka keduanya pun (Abu
Bakar dan 'Umar) bertukar pendapat dengan Zaid bin Tsabit sampai akhrinya mau
untuk menulisnya.
3.
Pengumpulan Qur’an pada Masa Usman
Beberapa
karakteristik mushaf al-Qur’an yang ditulis pada masa Utsman ibn ‘Affan antara
lain.
1. Ayat-ayat al-Qur’an
yang ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawatir.
2. Tidak memuat
ayat-ayat yang mansukh.
3. Surat-surat maupun
ayat-ayatnya telah disusun dengan tertib sebagaimana al-Qur’an yang kita kenal
sekarang. Tidak seperti mushaf al-Qur’an yang ditulis pada masa Abu Bakar yang
hanya disusun menurut tertib ayat, sementara surat-suratnya disusun menurut
urutan turun wahyu.
4. Tidak memuat
sesuatu yang tidak tergolong al-Qur’an, seperti yang ditulis sebagian sahabat
Nabi dalam masing-masing mushafnya, sebagai penjelasan atau keterangan terhadap
makna ayat-ayat tertentu.
5. Dialek yang
dipakai dalam mushaf ini hanya dialek Quraisyi sekalipun pada mulanya diizinkan
membacanya dengan menggunakan dialek lain.
Bila kita cermati tujuan pengumpulan
al-Qur’an pada masa Abu Bakar ialah mengumpulkan seluruh al-Qur’an menjadi
satu, supaya sesuatu darinya tidak ada yang hilang. Sementara tujuan penyalinan
Utsman ke dalam beberapa mushaf adalah membikin mushaf yang disepakati oleh
seluruh ummat untuk penyeragaman mushaf dan pembatasan bacaan. Karena
dikhawatirkan nanti di kemudian hari ada penyelewengan. Bentuk tulisan Utsmani
ini adalah sesuai dan persis dengan bentuk tulisan mushaf kumpulan Abu Bakar
dan tulisan di zaman Nabi Saw.
C. Tertib Ayat dan Surat
1. Tertib Ayat
Penempatan secara tertib
urutan ayat-ayat Al-Qur’an ini adalah bersifat tauqif, berdasarkan ketentuan
dari Rasulullah saw. Menurut sebagian ulama, pendapat ini merupakan
ijma’.Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari
surat-surat tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqif.
Sebab jika susunannya dapat diubah, tentulah ayat-ayat itu tidak akan didukung
oleh hadits-hadits tersebut.
2. Tertib Surat
Para ulama berbeda
pendapat tentang tertib surat dalam Al Qur’an:Pendapat pertama mengatakan bahwa
tertib surat itu tauqif dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana
diberitahukan Malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Susunan Al-Qur’an
pada masa Nabi tertib ayat-ayatnya seperti yang ada di tangan kita sekarang
ini, yaitu tertib mushaf Utsman yang tak ada seorang sahabat pun menentangnya.
Ini menunjukkan telah terjadi ijma’ atas susunan surat yang ada, tanpa ada
suatu perselisihan apa pun.
KELOMPOK 9
A. Tahapan Turunnya Al-qur’an
Alqur’an
diturunkan melalui dua tahap :
1.
Dari Lauhil Mahfuzh ke sama’
(langit) dunia secara sekaligus pada malam lailatul qadar.
2.
Dari sama’dunia ke bumi secara
bertahap dalam masa dua puluh tiga tahun.
a.
Penurunan Pertama
Pada malam
mubarakah yaitu malam Lailatul Qadar diturunkanlah Al-Qur’an
secara
sempurna
ke Baitul ‘Izzah di langit pertama. Alasan yang demikian
adalah didasarkan dari
nash. Sebagai alasannya
apabila yang dimaksud dalam penurunan ini adalah penurunan tahap
kedua yaitu kepada Nabi SAW. Maka tidaklah tepat bila
dikatakan satu malam dan satu bulan
yaitu bulan Ramadhan, karena Al-Qur’an diturunkankan kepada
Nabi dalam masa yang lama
yaitu selama masa kerasulan 23 tahun serta diturunan
bukan saja pada bulan Ramadhan tetapi
juga pada bulan selainnya. Dari itu nyatalah bahwa yang
dimaksudkan adalah penurunan
pada
tahap pertama.
b.
Penurunan kedua
Penurunan tahap yang kedua
adalah dari langit pertama ke dalam lubuk hati Nabi s.a.w dengan cara
berangsur-angsur yang memakan waktu selama 23 tahun yaitu sejak kebngkitannya
sebagai Rasul sampai beliau wafat.
B. Hikmah Turunnya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur
a.
Meneguhkan hati atau tanggapan Nabi s.a.w dalam menghadapi celaan dari
orang-orang musyrik
b. Meringankan
Nabi Muhammad s.a.w dalam menerima wahyu, hal ini karena
kedalaman dan kehebatan Al-Qur’an
c.
Tadarruj (selangkah demi
selangakah) dalam menetapakan hukum samawy.
Dalam hal ini
amat nyata dan jelas, dimana
metode Al-Qur’an
terhadap manusia, khususnya
orang-orang Arab ada suatu metode yang filosofis dalam melepaskan mereka dari
dunia kemusyrikan untuk hidup dengan penuh pancaran iman seta memmbudaya dalm
pribadinya untuk cinta kepada Allah dan rasul-Nya,
d. Mempermudah
dalam menghapal Al-Qur’an dan memberi pemahaman bagi
kaum muslimin serta mempermudah pemahaman dan penghayatan mereka.
e. Sejalan dengan kisah-kisah yang tejadi dan mengingatkan
atas kejadian itu, yaitu sesuai dengan kejadian dan keadaan disaat diturunkan
sekaigus memperingatkan kesalahan-kesaahan pada waktunya. Sungguh hal yang
demikian itu akan lebih mantap dan tertanam dalam hati dan lebih mendorong untuk
mengambil pelajaran secara praktis. Maka bila ada persoalan yang baru dari
kalngan mereka ,turunkah ayat yang sesuai dengan persoalan tersebut. Bila
terjadi kesalahan dan penyelewengan dikalngan mereka, turunlah Al-Qur’an memberi batasan serta pemberitahuan kepada
mereka tentang masalah mana yang harus ditinggalkan dan yang patut dikerjakan.
f.
Petunjuk terhadap asal (sumber) Al-Qur’an bahwasannya Al-Qur’an diturunkan
dari zat yang Maha Bijaksana lagi Terpuji.
C. Dalil Diturunkannya
Al-Qur’an
dengan Tujuh Huruf
1. Imam
Bukhari dan Imam Muslim dalam shahihnya meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a bahwa
ia berkata: Rasulullah
s.a.w bersabda: “Jibril
membacakan Al-Qur’an
kepadaku dengan satu huruf, kemudian aku mengulanginya (setelah
itu) senantiasa aku meminta tambah dan ia pun menambahkan sampai dengan tujuh
huruf’, Imam Mulim menambahkan: “Ibnu Syihab
mengatakan: Telah
sampai berita padaku bahwa tujuh huruf itu untuk perkara yang satu yang tidak
diselisihkan halal haramnya”.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan yang
lafazhnya dari Bukhari bahwa: ’Umar bin Khatab r.a. berkata: “Aku mendengar
Hisyam bin Hakim membaca surat Al-furqan dimasa hidupnya Rasulullah s.a.w. Aku
mendengar bacaannya, tiba-tiba ia membacanya dengan beberapa huruf yang belum
pernah Rasullullah s.a.w. membacakannya kepadaku sehingga aku hamper beranjak
dari shalat ,kemudian aku menunggunya sampai salam. Setelah ia salam
aku menarik sorbannya dan bertanya: “Siapa yang
membacakan surat ini kepadamu?”. Ia menjawab:
Rasulullah yang membacakannya kepadaku, aku menyela: “Dusta kau, Demi Allah
sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah membacakan surat yang kudengar dari yang
kau baca ini”. Setelah itu aku pergi membawa dia menghadap Rasulullah s.a.w.
lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah aku telah mendengar lelaki ini, ia membaca
surat Al-furqan dengan beberapa huruf yang belum pernah engkau bacakan
kepadaku, sedangkan engkau sendiri telah membacakan surat Al-furqan ini
kepadaku. Rasulullah s.a.w menjawab: “Hai Umar! lepaskan dia”. Bacalah Hisyam! “Kemudian
dia membacakan bacaan yang tadi aku dengar ketika ia membacanya. Rasulullah
s.a.w bersabda: “Begitulah surat itu diturunkan”, sambil menyambung sabdanya:
“Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang paling
mudah!” Dalam satu riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah s.a.w. mendengarkan
pula bacaan sahabat Umar r.a. kemudian beliau bersabda: “Begitulah bacaan itu
diturunkan”.
2.
Al-hafizh Abu Ya’la dalam musnad kabrnya meriwayatkan: “bahwa Utsman r.a.
pada suatu hari ia berkata diatas mimbar: “Aku sebut nama Allah teringat
seorang lelaki yang mendengar Rasulullah s.a.w berkata: bahwa Al-Qur’an
diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuany tegas lagi sempurna”. Ketika Umar
berdiri para hadirin berdiri sehingga tidak terhitung dan mereka menyaksikan
pula bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: “Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuanya tegas dan lengkap”.
Kemudian Utsman r.a. berkata: “Saya menyaksikan bersama mereka”.
D. Perbedaan Pendapat
Ulama Seputar Tujuh Huruf
Para
ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud tujuh huruf ini dengan
perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibnu Hayyan mengatakan, “Ahli
ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima
lipat .” Namun kebanyakan pendapat-pendapat itu bertumpang tindih,
1. Sebagan
besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh
macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna .Dengan pengertian
jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna ,maka Al-Qur’an
pun diturunkan dengan sejumlah lafazh sesuai dengan ragam bahasa tersebut
tentang makna yang satu itu.Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka
Al-Qur’an
hanya mendatangkan satu lafazh atau lebih saja. Kemudian mereka
berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa adalah bahasa Quraisy, Hudzail, Saqif,
Hawazin, Kinanah, Tamim dn Yaman.
Menurut
Abu Hatim As-Sijistani, Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Azad, Rabiah, Hawazin
dan Sa’ad bin Abi Bakar.
2. Yang
dimaksud tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang
ada,yang mana dengannyalah Al-Qur’an
diturunkan, dengan
pengertian bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an secara
keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu
bahasa yang paling fasih dikalangan bangsa Arab, meskipun
sebagian besarnya dalam ahasa Quraisy. Sedang
sebagian yang lain dalam bahasa Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, atau
Yaman: karena itu maka secara
keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut. Pendapat ini berbeda
dengan pendapat sebelumnya,karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam
pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran diberbagai surat Al-Qur’an,
bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Menurut Abu Ubaid, yang dimaksud bukanlah
setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang
bertebaran dalam Al-Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy ,sagian bahasa yang lain
bahasa Hudzail, Hawazin, Yaman, dan lail-lain. Dia menambahkan bahwa sebagian
bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam Al-Qur’an.
E.
Hikmah dari Turunnya Al-qur’an dengan Tujuh Huruf (ahruf
sab’ah)
1.
Untuk
memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, yang
setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing ,dan belum terbiasa menghafal
syariat, apalagi
mentradisikannya. Hikmah
ini ditegaskan oleh beberapa hadits antar lain dalam ungkapan berikut:
Ubay berkata, “Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam bertemu dengan Jibril di Ahjar Mira’ lalu berkata
“Aku ini diutus kepada umat yang ummi. Diantara
mereka ada anak-anak, pembantu, kakek-kakek
dan nenek-nenek.” Maka kata Jibril, “Hendaklah mereka
membaca Al-qur’an dengan tujuh huruf.”
2.
Bukti
kemukjizatan Al-Qur’an
bagi naluri kebahasaan orang Arab. Al-qur’an banyak mempunyai pola susunan
bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah
menjadi naluri bahasa orang-orang Arab, sehinggga
setiap orang Arab dapat mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan
irama naluri mereka dan lahjah kaumnya ,tanpa mengganggu kemukjizatan Al-Qur’an
yang ditantangkan Rasulullah kepada mereka. Mereka memang tidak mampu menghadapi tantangan tersebut. Sekalipun
demikian, kemukjizatan itu bukan terhadap bahasa, melainkan terhadap naluri
kebahasaan mereka itu sendiri.
3.
Kemukjizatan
Al-Qur’an
dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab,
perubahan bentuk lafazh pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang
luas untuk dapat disimpulkan berbagai hukum daripadanya. Hal inilah yang
menyebabkan Al-Qur’an relevan untuk setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha
dalam istimbat dan ijtihadnya berhujjah dengan qira’at tujuh huruf ini.
KELPMPOK 10
A. Pengertian Qira’at
Secara etimologi (bahasa), qira’at (قراءات) adalah bentuk
jamak dari qira’ah (قراءة)
yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya ”
bacaan” Sedangkan
berdasarkan pengertian terminologi (istilah).
Perbedaan
cara pendefinisian sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama bahwa ada
beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun sama-sama berasal dari satu sumber,
yaitu Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang
lingkup perbedaan di antara beberapa qira’at yang ada. Dengan demikian, ada
tiga unsur qira’at yang dapat ditangkap dari definisi-definisi di atas, yaitu:
1.
Qira’at berkaitan dengan cara
pelafalan ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda
dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2.
Cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran
itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat
tauqifi, bukan ijtihadi.
3.
Ruang lingkup perbedaan qira’at
itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan washl.
B. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Qira’at
1.
Sejarah Ilmu Qira’at
Qira’at sebenarnya telah muncul semenjak
Nabi masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah
disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi di atas: Suatu
ketika ‘Umar bin Khattab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika baca
Al-Quran. Umar tidak puas dengan bacaan Hisyam saat baca surat al-furqan.
Menurutnya tidak benar dan bertentangan dengan yang diajarkan nabi, tetapi
menurut Hisyam bacaanya berasal dari nabi. Lalu Hisyam melapor kepada nabi dan
nabi menyuruhnya mengulang bacaan surat al-furqan. Setelah melakukannya, nabi
bersabda:“Memang begitulah Al-Quran diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran ini
diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap
mudah dari tujuh huruf itu.”
2.
Perkembangan Ilmu Qira’at
Menurut catatan sejarah, timbulnya
penyebaran qiraat dimulai pada masa tabiin, yaitu awal II H. Tatkala para qari’
sudah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qiraat
gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut
diajarkan secara turun-temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada para
imam qira’at,baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
C. Macam-Macam dan Tata Baca ( Qira’at ) Al-Qur’an
a.
Macam-macam
qira’at
Sebagian ulama
menyimpulkan macam-macam qira’at menjadi enam macam:
1.
Mutawâtir, yaitu qira’at
yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta,
2.
Masyhûr, yaitu qira’at
yang shahîh sanadnya
tetapi tidak mencapai derajat mutawâtir,.
3.
Âhâd, yaitu qira’at
yang shahîh sanadnya
tetapi tidak sesuai atau menyalahi rasam Utsmâni,
4.
Syâdz, yaitu qira’at
yang tidak shahîh
sanadnya, seperti qira’at malaka
yaumaddîn (al-Fâtihah ayat 4), dengan bentuk fi’il mâdhi dan menasabkan
yauma.
5. Mawdhû’, yaitu qira’at yang tidak ada asalnya
6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam
qira’at sebagai penafsiran, seperti qira’at Ibnu ‘Abbâs
b.
Tata Baca
Qira’at
bentuk-bentuk
perbedaan cara melafalkan Al-Quran itu sebagai berikut:
1.
Perbedaan dalam i’rab atau harakat
kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat. Kata Al-bakhl yang berarti kikir
di sini dapat dibaca fathah pada
huruf ba’nya sehingga dibaca “bi
Al-bakhli”; dapat pula dibaca dhammah pada ba’nya sehingga menjadi “bi Al-bukhli”
2.
Perbedaan pada i’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah
maknanya. Misalnya
pada firman Allah : Artinya : “ Ya Tuhan
kami, jauhkanlah jarak perjalanan kami.” (QS. Saba’ [34] : 19)
3.
Perbedaan pada perubahan huruf
antara perubahan huruf i’rab dan bentuk tulisannya, sementara maknanya berubah.
Misalnya pada firman Allah : Artinya : “ ...
dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya
kembali.” ( QS. Al-Baqarah [2] : 259)
4.
Perubahan pada kalimat dengan
perubahan pada bentuk tulisannya, tapi makna tidak berubah. Misal pada firman
Allah :
Artinya :“ ...
dan gunung-gunung seperti bulu yang di hambur-hambur kan.” (QS. Al-Qari’ah
[101] : 5)
5.
Perbedaan pada kalimat dimana
bentuk dan maknanya berubah pula. Misal pada ungkapan thal’in mandhud thalhin mandhud
6.
Perbedaan pada mendahulukan dan
mengakhirkannya. Misal pada firman Allah:
Artinya :“ Dan
datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya.” (QS. Qaf [50] : 19)
7.
Perbedaan dengan menambah dan
mengurangi huruf, seperti pada firman Allah : Artinya : “ ... surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya.” (QS.
Al-Baqarah [2] :25)
D. Tujuh Tokoh Qurro yang Mahsyur
1. IMAM NAFI' AL-MADANI
Nama lengkap :
Nafi' bin 'Abdurrohman bin abi nu'aim allaitsi
Nama panggilan : Abu Ruwaim dan ada yang mengtakan, Abu 'Abdillah
Nama panggilan : Abu Ruwaim dan ada yang mengtakan, Abu 'Abdillah
Lahir :
Tahun 70 H.
Wafat :
Tahun 169 H.
Asal :
Dari Al-ashbahani tinggal di Madinah Al munawwaroh
Perowinya : Qolun dan Warsy
Perowinya : Qolun dan Warsy
2. QOLUN
Nama Lengkap :
'Isa bin Mina bin Wardah bin Isa bin 'Abdushshomad
Nama Panggilan : Abu Musa Laqob
Nama Panggilan : Abu Musa Laqob
Nama Sebutan : Qolun,
nama Laqob yang diberikan oleh Nafi' selaku gurunya karena keindahan
bacaannya, Qolun dalam bahasa Romawi atau Greek berarti indah.
Lahir :
Tahun 120 H.
Wafat :
Tahun 220 H. di Madinah Al-munawwaroh
3. WARSY
Nama lengkap : 'Usman bin Sa'id Al-mishri
Nama lengkap : 'Usman bin Sa'id Al-mishri
Nama panggilan : Abu
Sa'id Laqob
Nama Sebutan : Warsy, diberi Laqob Warsy
oleh Nafi' selaku gurunya karena kulitnya yang sangat putih
Lahir :
Tahun 110 H.
Wafat :
Tahun 197 H. di Mesir.
4. IMAM IBNU KATSIR
Nama Lengkap :
'Abdulloh Ibnu Katsir Al-makki
Nama Panggilan : Abu
Ma'bad ( menurut keterangan yang masyhur )
Lahir : Tahun 45 H.
Lahir : Tahun 45 H.
Wafat :
Tahun 120H.
Perowinya :
Al-bazzi dan Qumbul
5. AL-BAZZI
Nama Lengkap : Ahmad bin Muhammad bin 'Abdulloh bin Abi Bazzah
Nama panggilan : Abul-hasan
Nama Lengkap : Ahmad bin Muhammad bin 'Abdulloh bin Abi Bazzah
Nama panggilan : Abul-hasan
Nama Sebutan :
Al-bazzi, nama laqob Al-bazzi karena nisbah kepada datuknya yaitu
Al-bazzah
Lahir :
Tahun 170 H.
Wafat
: Tahun 250
H.
6. QUMBUL
Nama lengkap :
Muhammad bin 'Abdurrohman bin Muhammad bin Kholid bin Sa'id
bin Al-makhzumi Al-makki
Nama panggilan :
Abu 'Amr
Laqob
: Qumbul, karena beliau termasuk kaum Al-qonabilah
Lahir : Tahun 195 H.
Lahir : Tahun 195 H.
Wafat
: Tahun 291 H.
7. IMAM ABU 'AMR AL-BASHRI
Nama Lengkap :
Zaban bin Al-'ala bin 'Imar Al- mazani Al-bashri
Nama Panggilan : Abu 'Amr
Nama Panggilan : Abu 'Amr
Lahir :
Tahun 68 H.
Wafat :
Tahun 154 H.
Perowinya :
Adduri dan Assusi
E. Hikmah Keragaman Qira’at Al-Qur’an
Bervariasinya qira’at mempunyai
faedah dan manfaat bagi umat islam. Al-Qaththan menyebutkan empat faedah, yaitu
sebagai berikut :
a.
Meringankan dan memudahkan umat
islam membaca Al-Qur’an, suatu lafal yang sulit di ucapkan dapat di ganti
dengan lafal yang mudah.
b.
Menunjukan betapa terjaganya
kitab Allah ini dari perubahan dan penyimpangan ini
c.
Sebagai bukti kemukjizatan
Al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena suatu qira’at menunjukan suatu
hukum syara’ tertentu tanpa pengulangan lafal
d.
Menjelaskan hal-hal yang
mungkin belum jelas dalam qira’at yang
lain.
KELOMPOK 11
A.
Pengertian
Tajwid dan Ilmu Tajwid
Tajwīd (تجويد) secara harfiah bermakna
melakukan sesuatu dengan baik dan indah atau bagus dan membaguskan, tajwid
berasal dari kata Jawwada (جوّد-يجوّد-تجويدا) dalam bahasa Arab. Dalam ilmu Qiraah, tajwid
berarti mengeluarkan huruf dari tempatnya dengan memberikan sifat-sifat yang
dimilikinya. Jadi ilmu tajwid adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara
membunyikan atau mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam kitab suci al-Quran
maupun bukan.
Sedangkan ilmu tajwid diartikan sebagai : ilmu yang
menjelaskan hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang harus dijaga pada saat membaca
Al-Quran, sesuai dengan apa yang dipraktekkan kaum muslimin, dari generasi ke
generasi sejak zaman Rasulullah SAW.
a.
Keutamaan Tajwid
Pada
ayat di atas diisyaratkan bahwa Al-Quran idealnya dibaca dengan benar, baik
agar bisa mempengaruhi hati mereka yang mendengarnya. Sebaliknya, jika al-quran
dibaca dengan seenaknya, maka tidak akan berpengaruh apapun bagi hati yang
mendengarnya.
B. Hukum
Mempelajari Ilmu Tajwid
Para ulama menyatakan bahwa hukum bagi mempelajari
tajwid itu adalah fardhu kifayah tetapi mengamalkan tajwid ketika membaca
al-Quran adalah fardhu ain atau wajib kepada lelaki dan perempuan yang mukallaf
atau dewasa.
C. Objek Pembahasan Ilmu Tajwid
Objek
pembahasan dalam Ilmu Tajwid, secara garis besar meliputi :
a.
Hukum-hukum berkaitan dengan Nun ( Ahkamu an-Nuun)
b.
Hukum-hukum berkaitan dengan Hamzah ( ahkaamu
alhamzah)
c.
Tata Cara Berhenti ( Kaifiyah Al-Waqf )
d.
Makhorijul Huruf ( Tempat Keluar Huruf)
e.
Sifat-sifat Huruf
f.
Ahkamul Mad ( Panjang Pendek Harokah)
D. Kesalahan-Kesalahan dalam Praktek Tajwid
Kesalahan dalam praktek tajwid ,
secara umum bisa dibagi menjadi dua bagian besar :
1.
Kesalahan Al-Lahn ( Kekurangan
dalam pelafalan /tanpa tajwid)
Kesalahan
al-lahn dibagi menjadi dua bagian ;
a.
Kesalahan Al-Jaliyy (yang Jelas)
yaitu kesalahan pelafalan / tajwid yang diketahui oleh banyak orang awam secara
umum. Misalnya adalah : salah dalam harokat ( I’rob), atau salah dalam tashrif.
b.
Kesalahan Al-Khofiyy (tersembunyi),
yang tidak diketahui kecuali oleh mereka yang bergelut lama di ilmu tajwid atau
pakar di bidang Qiro’at. Seperti dalam masalah makhorijul huruf dan
sifat-sifatnya.
2.
Berlebihan dalam Tajwid
Berlebihan
dalam pengucapan dan pelafalan Al-Quran juga sama bahayanya dengan meninggalkan
tajwid. Berikut contoh-contoh kesalahan yang berhubungan dengan berlebihan
dalam pengucapan al-Quran :
At-Tar’iid : pembacaan al-quran dengan bergetar
secara berlebihan, bagaikan orang yang menggigil kedinginan atau menahan sakit.
At-Tarqish : berhenti dan diam pada tempat
berhenti, untuk kemudian melanjutkan harokah dengan cepat seperti lari dari
musuh atau terkejut.
At-Tathriib : pembacaan seperti musik, khususnya
memanjangkan secara berlebihan pada huruf mad
At-Tahziin : membaca al-Quran dengan nada sedih
yang berlebihan dan hampir-hampir menangis berlebihan
At-Tardiid : pengulangan ayat terakhir yang dibaca
seorang qori’ oleh sekumpulan orang yang mendengarkannya
E. Keutamaan Tilawah
1. Orang yang
mempelajari, mengajarkan, dan mengamalkan Al-Qur`an termasuk insan
yang terbaik, bahkan ia akan menjadi Ahlullah
(keluarga Allah).
2. Mendapatkan Syafaat dari Al-Qur`an pada hari
kiamat.
3. Shahibul Qur`an akan memperoleh ketinggian
derajat disurga.
4. Orang yang membaca Al-Qur`an
akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat.
6. Orang yang berhak menjadi imam
shalat adalah orang yang paling banyak
7. Tilawah Al-Qur`an akan dapat
melembutkan hati bagi pembacanya atau orang yang
mendengarkanya dengan baik.
F. Adab
Tilawah
Dianjurkan bagi orang yang
membaca Quran memperhatikan hal-hal berikut :
1.
Hendaknya membaca Quran dalam keadaan
berwudlu, karena ia termasuk dzikir yang paling utama, meskipun boleh
membacanya bagi orang yang berhadast.
2.
Membacanya hanya di tempat yang bersih dan suci,
untuk menjaga keagungan Al-Quran.
3.
Membacanya dengan khusyuk, tenang dan bersahaja.
4.
Bersiwak (membersihkan mulut) sebelum mulai
membaca.
5.
Membaca taáwwuz (audzu billahi
minasysyaitanir rajim) pada permulaannya,
6.
Membaca basmalah pada permulaan setiap surah,
kecuali surah Al-Baraáh At-taubah).
7.
Membacanya dengan tartil yaitu
dengan pelan dan terang serta memberikan setiap huruf haknya (betul makhrajul
hurf dan tajwidnya), seperti panjangnya, idgamnya,
8.
Memikirkan dan mentadabburi ayat‐ayat yang dibacanya.
9. Meresapi makna dan
maksud ayat-ayat Quran yang berhubungan dengan janji dan ancaman.
10. Membaguskan suara karena itu akan lebih berasa di hati.
11. Mengeraskan bacaan jika dianggap lebih baik dan tidak
menimbulkan riya.
KELOMPOK 12
A.
PENGERTIAN TAFSIR,
TA’WIL, DAN TERJEMAH
1.
Tafsir
Tafsir menurut bahasa artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.
Tafsir diambil dari kata fassara – yupassiru–tafsiran yang berarti keterangan,
penjelasan atau uraian. Kata kerjanya mengikuti
wajan “daraba-yadribu” dan nasara-yansuru”. Dikatakan: “fasara (asy-syai’a)
yafsiru” dan “yafsuru, fasran”, dan “fassarahu”, artinya “abanahu”
(menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap
yang tertutup. Dalam lisanul arab dinyatakan: kata “al-fasr” berarti menyingkap
sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud
sesuatu lafaz yang musykil.
2.
Takwil
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “aul”,
yang berarti kembali keasal. Ta’wil kalam dalam istilah mempunyai dua makna
Pertama, ta’wil kalam dengan pengertian sesuatu makna
yang kepadanya mutakallim (pembicara,
orang pertama) mengembalikan perkataannya, atau sesuatu makna yang kepadanya
suatu kalam dikembalikan. Dan kalam itu kembali dan merujuk kepada makna
hakikinya yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud. Kalam ada dua macam, insya dan ikhbar. Salah satu yang termasuk insya’ adalah amr (kalimat
perintah). Maka ta’wilul amr ialah
esensi perbuatan yang diperintahkan.
Kedua, ta’wilul kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya.
Pengertian inilah yang yang dimaksudkan Ibn Jarir at-Tabari dalam tafsir-nya
dengan kata-kata: “pendapat tentang ‘ta’wil’ firman Allah ini … begini dan
begitu..” dan kata-kata: ”Ahli ta’wil’ berbeda pendapat tentang ayat ini.” Jadi
yang dimaksud dengan kata “ta’wil” disini adalah tafsir.
3. Terjemah
Arti terjemah menurut bahasa adalah salinan dari satu bahasa ke
bahasa lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke
bahasa lain. Kata terjemah berasal dari bahasa arab, “tarjama” yang berarti
menafsirkan dan menerangkan dengan bahasa yang lain (fassara wa syaraha bi
lisanin akhar), kemudian kemasukan “ta’ marbutah” menjadi al-tarjamatun yang
artinya pemindahan atau penyalinan dari suatu bahasa ke bahasa lain (naql min
lighatin ila ukhra).
B.
PERBEDAAN TAFSIR, TAKWIL DAN TERJEMAH
Tafsir:
menjelaskan makna ayat yang kadang-kadang dengan panjang lebar, lengkap dengan
penjelasan hokum-hukum dan hikmah yang dapat diambil dari ayat itu dan
seringkali disertai dengan kesimpulan kandungan ayat-ayat tersebut.
Ta’wil:
mengalihkan lafadz-lafadz ayat al-Qur’an dari arti yang lahir dan rajih kepada
arti lain yang samar dan marjuh.
Terjemah: hanya
mengubah kata-kata dari bahasa arab kedalam bahasa lain tanpa memberikan
penjelasan arti kiandungan secara panjang lebar dan tidak menyimpulkan dari isi
kandungannya.
Perbedaan tafsir dan takwil di satu pihak dan
terjemah di pihak lain adalah bahwa berupaya menjelaskan makna-makna setiap
kata di dalam Al-Qur’an dan mengalihkan bahasa Al-Qur’an yang aslinya bahasa
Arab ke bahasa non Arab.
Para mufassirin telah berselisih tentang makna
tafsir dan takwil:
1. Menurut Abu Ubaidah:
“Tafsir dan takwil satu makna.” Pendapat ini di bantah oleh para ulama yaitu
diantaranya Abu Bakar Ibnu Habib an-Naisabury.
2. Menurut Al-Raghif
Al-Ashfahani: “Tafsir itu lebih umum dan lebih banyak dipakai mengenai
kata-kata tunggal, sedangkan takwil lebih banyak dipakai mengenai makna
dan susunan kalimat.
3. Menurut setengah ulama :
“Tafsir menerangkan makna lafazh yang tidak menerima selain dari satu arti.
Sedangkan takwil menetapkan makna yang dikehendaki oleh suatu lafazh yang dapat
menerima banyak makna, karena ada dalil-dalil yang menghendakinya.
Dari beberapa pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa perbedaan tafsir dan takwil yaitu:
- Tafsir itu lebih umum dari takwil karena dipakai dalam kitab Allah dan lainnya, sedangkan takwil itu lebih banyak digunakan dalam kitab Allah.
- Tafsir pada umumnya digunakan pada lafazh dan mufradat (kosakata), sedangkan takwil pda umumnya digunakan untuk menunjukan makna dan kalimat.
- Takwil diartikan juga sebagai memalingkan makna suatu lafazh dari makna yang kuat (ar-rajih) ke makna yang kurang kuat (al-marjuh), karena disertai dalilyang menunjukan demikian. Sedangkan tafsir menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan makna yang kuat.
- Para ulama ada juga yang berpendapat bahwa tafsir adalah penjelasan yang berdasarkan riwayah, dan takwilberdasarkan dirayah.
Metode Tafsir
Ulama selalu berusaha untuk memahami kandungan
al-Quran sejak masa ulama salaf sampai masa modern. Dari sekian lama perjalanan
sejarah penafsiran al-Quran, banyak ditemui beragam tafsir dengan metode dan
corak yang berbeda-beda. Dari sekian banyak macam-macam tafsir, ulama mencoba
membuat menglasifikasikan tafsir dengan sudut pandang yang berbeda-beda antara
yang satu dengan yang lainnya.
Jika dilihat dari segi etnis atau cara bagaimana
mufassir menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an, maka tafsir itu dapat dikategorikan
dalam beberapa macam yaitu:
- Tahlili
- Muqarran
- Ijmali
- Maudhu’i
Corak Tafsir
Tafsir merupakan karya manusia yang selalu
diwarnai pikiran, madzhab, dan disiplin ilmu yang ditekuni oleh mufassirnya,
oleh karena itu buku-uku tafsir mempunyai berbagai corak pemikiran dan
madzhab. Diantara corak tafsir yaitu adalah sebagai berikut:
1. Tafsir Shufi
Tafsir shufi yaitu suatu karya tafsir yang
diwarnai oleh teori atau pemikiran tasawuf, baik tasawuf
teoritis(at-tasawuf an-nazhary) maupun tasawuf praktis (at-tasawuf al-‘amali).
2. Tafsir Falsafi
Yaitu suatu karya tafsir yang bercorak filsafat.
Artinya dalam menjelaskan suatu ayat, mufassir merujuk pendapat filosof.
Persoalan yang diperbincangan dalam suatu ayat dimaknai berdasarkan pandangan
para ahli filsafat.
3. Tafsir Fiqhi
Yaitu penafsiran al-Qur’an yang bercorak fiqih,
diantara isi kandungan al-Qur’an adalah penjelasan mengenai hukum, baik ibadah
maupun muamalah. Tafsir fiqih ini selain lebih banyak berbincang mengenai
persoalan hukum , juga kadang-kadang diwarnai oleh ta’asub (fanatik). Buku-buku
tafsir fiqhi ini dapat pula dikategorikan kepada corak lain yaitu tafsir fiqhi
hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali.
4. Tafsir ‘Ilmi
Yaitu tafsir yang bercorak ilmu pengetahuan
modern, khususnya sains eksakta. Tafsir ini selalu mengutiip teori-teori
ilmiah yang berkaitan denagn ayat yang sedang ditafsirkan. Seperti
biologi, embriologi, geologi, astronomi, pertanian, perterrnakan, dan
lain-lain. Contoh tafsir yang bercorak ilmi yaitu: Al-Jawahir fi Tafsir
Al-Qur’an Al-karim karya Thanthawi Jauhari dan Mafatih Al-Ghaib karya Ar-Razi,
Khalq Al-Insan Bayna Ath-Thib Wa Al-Qur’an karya Muhammad Ali Al-Bar.
5. Corak Al-Adabi
WaAl-Ijtima’i
Yaitu tafsir yang bercorak sastra kesopanan dan
sosial. Dengan corak ini mufassir mengungkap keindahan dan ke agungan Al-Qur’an
yang meliputi aspek balagah, mukjizat, makna, dan tujuannya. Mufassir berusaha
menjelaskan sunnah yang terdapat pada alam dan sistem sosial yang terdapat
dalam Al-Qur’an, dan berusaha memecahkan persoalan kemanusiaan pada umumnya dan
umat islam pada khususnya, sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an.
C.
Pengertian Dan Perbedaan
Tafsir Bil Ma’tsur Dan Tafsir Bi Ro’yi
1.
Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Adalah penafsiran
Al-Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan Al-Qur’an rasul, para sahabat
melalui ijtihadnya. Tafsir yang merujuk pada penafsiran al-qur’an dengan
al-qur’an atau penafsiran al qur’an dengan al-hadits melalui penuturan para
sahabat. Jenis tafsir ini merupakan tafsir yang tertinggi yang tidak dapat
diperbandingkan dengan sumber lain. Hukum Tafsir Bi Al-Ma’tsur Yaitu Tafsir Bi
Al-Ma’tsur wajib untuk mengikuti dan diambil karena terjaga dari penyelewengan
makna kitabullah.
2.
Tafsir
Bir-Ra’yi
Berdasarkan
pengertian ra’yi berarti keyakinan dan ijtihad sebagaimana dapat didefinisikan
tafsir Bir-ra’yi adalah penjelasan yang diambil berdasarkan ijtihad dan
metodenya dari dalil hukum yang ditunjukkan. Yaitu penafsiran Al-Qur’an
berdasarkan rasionalitas pikiran (ar-ra’yu), dan pengetahuan empiris
(ad-dirayah). Tafsir jenis ini mengandalkan kemampuan “ijtihad” seorang
mufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran riwayat-riwayat (ar-riwayat).
Disamping aspek itu mufassir dituntuk untuk memiliki kemampuan tata bahasa,
retorika, etimologi, konsep yurisprudensi, dan pengetahuan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan wahyu dan aspek-aspek lainnya menjadi pertimbangan para
mufassir. Hukum Tafsir Bir-ra’yi yaitu Tafsir banyak dilakukan oleh ahli bid’ah
yang menyakini pemikiran tertentu kemudian membawa lafazh-lafazh Al-Qur’an
kepada pemikiran mereka tanpa ada pendahuluan dari kalangan sahabat. Tafsir
berlandaskan pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat, sering penafsiran
Al-Qur’an dianggap dengan akal semata, maka hukumnya adalah haram.
Dari uraian yang
telah dijelaskan diatas bahwa tafsir, takwil dan terjemah banyak mengandung
pengertian dari para ulama berdasarkan tujuan dari tafsir, takwil dan terjemah
adalah sebagai penjelasan yang terkandung dalam Al-qur’an.
D. KITAB-KITAB TAFSIR BIL MA’TSUR DAN TAFSIR BI RO’YI
a)
Karya-karya
Kitab Tafsir bil-ma’tsur :
1. Tafsir
Ibn Abbas
2.
Tafsir Ibn ‘Uyainah
- Tafsir Ibn Abi Hatim
- Tafsir Abu Syaikh bin Hibban
- Tafsir Ibn ‘Atiyyah
- Tafsir Abu Laits as-Samarqandi
- Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an
- Tafsir Ibn Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an
- Tafsir Ibn Abi Syaibah
- Tafsir al-Baghawi, Ma’alimu at-Tanzil
- Tafsir Abil Fida’ al-Hafidz Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim
- Tafsir as-Sa’labi, al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an
- Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Duru al-Mansur fi Tafsiri bi al-Ma’tsur
- Tafsir as-Syaukani, Fath al-Qadir
b)
Kitab-kitab
Tafsir Bir-Ray’i yang Terpenting
Diantara kitab-kitab tafsir bir ra’yi
yang menjadi pegangan, yang dikarang oleh Ahlus Sunnah, ialah:
1.
Tafsir al Jalalaini, yaitu:
tafsir yang disusun oleh Jalaludin Muhammad al Mahalliy dan disempurnakan oleh
Jalaluddin Abdur Rahman as Sayuithi.
2.
Tafsir Anwarut Tanzil wa
Asrarut Ta’wil,yang terkenal dengan tafsir al Baidlawi yang disusun oleh
Nasiruddin Ibn Sa’id al Baidlawi.
3.
Tafsir Mafatihul Ghaibi yang
terkenal dengan tafsir ar Razy yang disusun oleh Muhammad ibn Diya’uddin yang
terkenal dengan Khathibur Ray.
4.
Tafsir Irsyadul Aqlis Salim
ila mazayal quranil karim, yang disusun oleh Abus Su’ud Muhammad ibn
Muhammad Ibnu musthafa ath Thahawi.
5.
Tafsir Ruhul Ma’ani, yang disusun oleh Shihabuddin al Amsyi
6.
Tafsir Ghara-Ibul Qur’an wa Ragha-Ibul furqon yang disusun oleh
Nidhamuddin Al Hasan Muhammad an Naisaburri.
7.
Tafsir As Sirajul Munier Fil i-anati –ala ma’rifati Falani rabinal
khabir, yang disusun oleh Muhammad Asy Syarbini al Khatib.
8.
Tafsir Lubabut ta’wil fi Ma’anit tanjil, wa haqa-iqut ta’wil yang
disusun oleh Abul Barakat Abdullah Ibnu Mahmud an Nasafy.
9.
Tafsir al Khazin, yang disusun oleh Allauddin Ali Ibn Muhammad Ibn
Ibrahim al Baghdadiy yang terkenal dengan nama al Khazin.
Dari Tafsir-tafsir diatas dapat diperjelas sebagai berikut:
1. Tafsir al
Jalalalin
Tafsir ini, adalah tafsir
bernilai tinggi, mudah kita memahaminya, walaupun sangat pendek
uraian-uraiannya. Tafsir ini kadang- kadang dicetak bersama-sama dengan al
qur’an, kadang-kadang bersama dengan Hasyiyahnya ash Shawiy dan kadang-kadang
dengan Hasyiyahnya al Jamal. Kebanyakan ulama besar memilih objek ini untuk
menjadi objek pelajaran tafsir. Bahkan al imam Muhammad Abduh menjadika tafsir
ini sebagai bahan pokok bagi tafsirnya.
2. Tafsir
Al-Baidlawi
Tafsir ini, adalah tafsir
yang bernilai tinggi dan baik kupasannya yang mengumpulkan antara tafsir dan
takwil, berdasar kepada undang-undang bahasa arab serta menetapkan dalil-dalil
yang sesuai denggan dasar-dasar yang dipergunakan Ahlussunnah. Sayangnya beliau
menutupi setiap surat dengan menerangkan hadits yang menerangkan keutamaan
surat itu yang terkadang-kadang hadits itu Dha’if. Hasyiyah yang terbaik, ialah
Hasyiyah asyihab al Khafajy. Dan tafsir ini mempunyai banyak pula hasyiyah yang
lain. Diantaranya Hasyiyah Al Kazruniy.
3. Tafsir Al
Fakhrur Razi
Tafsir ini, berisikan
dengan berbagai-bagai keterangan untuk membelqa aqidah ahlus sunnah.
Terkadang-kadang berlebih-lebihan dalam membela pendirian Ahlus sunnah itu.
Beliau mengemukakan dalil-dalil mengenai masalah ke-Tuhannan menurut system
yang ditempuh oleh ahli-ahli Falsafah. Walaupun beliau menyesuaikan alas
an-alasannya dengan pendiri ahlus sunnah dan kadang-kadang beliau memperkatakan
pula ilmu-ilmu tabi’I seperti masalah palak, langit, bumi, binatang,
tumbuh-tumbuhan, dsb.
4. Tafsir
Abu Su’ud
Tafsir ini, suatu tafsir
yang indah, susunan bahasanya sangat menarik. Tafsir ini, mengemukakan kepada
kita tentang balagoh Al-qur’an dan tentang kemukjizatan Al-Qur’an dari segi
bahasa, disamping mempertahankan pendirian Ahli Sunnah. Abu Su’ud menjauhkan
diri dari pada memanjang-manjangkan keterangan yang tidak berpaedah.
5. Tafsir
An-Naisaburiy
Tafsir ini, amat mudah
ibaratnya. Tafsir ini memperhatikan masalah Qiro’at, masalah Waqof, disetiap
marhalah dari marhalah-marhalah tafsir, serta memperhatikan pula Takwil Isyariy
diakhir tiap-tiap marhalah itu.
6. Tafsir
al-Alusiya
Tafsir ini adalah salah
satu dari pada tafsir yang kita golongkan dalam golongan isyariy yaitu
mentafsirkan Al-Qur’an bukan dengan dhahirnya untuk mengutarakan sesuatu yang
tersembunyi yang hanya dapat dilihat oleh ahli-ahli tasawuf dan mungkin
dikumpulkan antara isyarat itu dengan apa yang dimaksudkan dari pada dhahir
Al-Qur’an.
7. Tafsir
an-Nasafiy
Tafsir ini adalah suatu
tafsir yang baik, yang bernilai, yag berkembang dalam masyarakat, mudah dalam
pembicaraannya. Menurut pendapat dalam mentakwilkan Al-Qur’an dan mengumpulkan
segala macam I’rab dan qira’ah, serta mengandung masalah-masalah yang penting
dari ilmul badie dan qiraat menguatkan pendapat-pendapat Ahlussunnah Waljam’ah,
lagi kosong dari pendapat-pendapat ahli bid’ah. Dia suatu tafsir yang
sederhana, tidak panjang meembosankan dan tidak pula pendek mengurangi maksud.
8. Tafsir
al- Khatib
Tafsir ini, adalah suatu
tafsir yang tinggi nilainya. Tafsir ini menitik beratkan pembahasannya kepada
tiga perkara: 1) Menguatkan dalil-dalil yang dikemukakan dan memberikan alas
an-alasan yang sempurna, 2) Memperkatakan persesuaian antara surat dengan surat
dan antara ayat dengan ayat, 3) Menerangkan kisah dan riwayat.
9. Tafsir
al-Khazin
Tafsir ini, suatu tafsir
yang mentafsirkan Al-Qur’an dengan riwayat tetapi pengarangnya tidak menyebut
sanad dari riwayat-riwayat itu. Diantara keistimewaannya, ialah menerangkan
suatu kisah dengan menyebut pula hal-hal yang batil dari pada kisah-kisah itu,
agar orang tidak terpedaya denggan kisah-kisah tersebut.
RANGKUMAN
MAKALAH
PENGANTAR
STUDI AL-QUR’AN
Makalah
Ini Diajukan Sebagai Tugas Individu
Mata
Kuliah : Pengantar Studi Al-Qur’an
DOSEN
PENGAMPU : H. Jajang Aisyul Muzakki, M.Pd.I
Disusun
Oleh :
NAMA : SANWASI
NIM : 1414161052
KELAS : IPA
BIOLOGI-B
TADRIS
IPA BIOLOGI-B
SEMESTER
1
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
Tidak ada komentar:
Posting Komentar