Jumat, 06 Maret 2015

macam-macam hadits



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Macam-Macam Hadits
1.      Hadits Musnad
Secara lugho adalah disandarkan, sedangkan secara istilah adalah hadits yang disandarkan kepada nabi SAW. Dengan sanad yang bersambung-sambung, dari perawinya hingga nabi SAW.
Imam Al-Khatib Al-Baghdady berkata : hadits musnad adalah hadits yang sanadnya bersambung dari awal rawi hingga akhir. Istilah musnad lebih banyak digunakan untuk hadits yang dating dari nabi SAW saja, bukan untuk hadits yang datang dari selain nabi SAW. Misalnya sahabat atau tabi’in. contohnya adalah ucapan imam malik :
حدثنا نافع قال , حدثنا اببن عمر قال سمعت رسول الله صلى ا عليه وسلم يقول .......
Nafi’ bercerita kepada kami, dia berkata “ibnu umar bercerita kepada kami, dia berkata : saya mendengar Rasulullah SAW bersabda….”
2.      Hadits Maqthu’
Menurut bahasa adalah isim maf’ul dari kata kerja qatha’a lawan dari kata washola (sambung) sehingga maqthu’ artinya yang diputuskan atau yang terputus, yang dipotong atau yang terpotong.
Adapun menurut istilah adalah perkataan, perbuatan atau pengakuan yang disandarkan kepada orang dari generasi tabi’in dan orang generasi sesudahnya, baik sanadnya bersambung maupun tidak.
Contoh hadits maqthu’ adalah perkatann sifyan Ats-Tsaury, seorang tabi’in yang mengatakan :
من السنة آ يصلي بعد الفطر اثنتي عشر ركعة ةبعد الأضحى ست ركعات
Artinya : “Termasuk sunnah adalah mengerjakan shalat 12 rakaat setelah shalat idul fitri, dan 6 rakaat seteleh sholat idul adha”.
3.      Hadits Muttasil
Menurut bahasa adalah isim fa’il dari kata kerja ittishala lawan kata dari inqatha’a artinya yang bersambung.Adapun menurut istilah adalah hadits yang sanadnya bersambung kepada nabi SAW, sahabat dengan cara setiap rawi mendengar dari orang atas (Guru)nya :
Contohnya adalah ucapan Imam Malik :
سمعت نافعا، قال سمعت إبن عمر قال سمعت رسول الله صلى ا عليه وسلم يقول كذا
Artinya : “Saya mendengar dari nafi’ dia berkata : saya mendengar Ibnu Umar berkata : Saya mendengar Nabi SAW bersabda ……….”.
4.      Hadits Munqhati’
Merupakan isim fail dari kata Inqitha lawan dari kata Ittashala yang artinya hadits yang terputus.Menurut ketetapan ahli hadits adalah satu hadits yang ditengah sanadnya gugur seorang rawi / beberapa rawi, tetapi tidak berturut-turut.
Definisi lain adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, di satu tempat atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.[1]

B.     Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.[2]
1.      Hadits Mutawatir
a.       Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
مـَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكـَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.[3]
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits mutawatir.Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya.Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan.Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.[4]
b.      Syarat Hadits Mutawatir
1)      Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2)      Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3)      Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera.Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.[5]



c.       Macam-macam mutawatir
      Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1)      Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
قـَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فـَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang  ini sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2)      Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال ابو مسى م رفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ
من دعائه إلا فى الإستسقاء (رواه البخارى ومسلم)
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)
3)      Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada.Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah.Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
a)      Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
b)      Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)[6]
2.      Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid.Kata  wahid berarti “satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.[7]
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur.Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.
a.       Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
مـَارَوَاهُ مِنَ الصَّحَابَهِ عَدَدٌ لا يَبْلُغُ حَدَّ تَـوَاتِر بَعْدَ الصَّحَابَهِ وَمِنْ بَعْدِهِمْ
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif.Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya.Seperti hadits ibnu Umar.
اِذَا جَاءَكُمُ اْلجُمْعَهُ فَلْيَغْسِلْ
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضـــِرَارَ
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَــهٌ عــَـلَي كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَــــهٍ
 “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam:
1)      Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2)      Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam, seperti :
َاْلمُسْلِمُ مَنْ سَـــــلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِســـَـانِهِ وَيدِهِ
3)      Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :
نَهَي رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهِ عَلَيْــــهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ اْلغَرَرِ
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4)      Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :
اِذَا حَكَمَ اْلحَاكِمُ ثُمَّ اجْتَهَدَ فَـــأَصَابَ فَلـَــهُ أَجْرَانِ وَاِذَا حَكَــــمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخَــــطَأَ فَلـَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).
5)      Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :

كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرِفَ فَخَلـَقْتُ اْلخَلْقَ فَبِي عَرَفُوْنِي
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku
6)      Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.[8]



A.    Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib.Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”.Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang.Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِـدِهِ وَوَلــِدِهِ وَالنـَّـاسِ أَجْمَعِيْنَ
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.




C.    Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitas Sanad Dan Matannya
1.      Hadits Shahih
a.       Definisi
1)      Definisi Ibn ash-Shalah.
Abu Amr ibn ash-shalah mengatakan :
“Hadits shahih adalah musnad yang sanadnya muttashil yang melalui periwayatan orang yang adl lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syad dan tidak mu’allal (terkena ‘illat).
2)      Definisi Imam Nawawiy
“Hadits shahih adalah hadits yang miuutashil sanadnya melalui (periwayatan) orang-orag yang adil lagi dhabit tanpa syad dan ‘illat.
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa hadits shahih harus memenuhi lima syarat :
a)      Muttashil sanadnya. Dikecualikan hadits munqothi’, mu’dhal, mu’allaq, mudallas     dan jenis lain yang tidak memenuhi kriteria muttashil ini.
b)      Perowi-perowinya adil. Yaitu orang yang lurus agamanya, baik pekertinya dan bebas dari kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan keperwiraannya.
c)      Perawi-perawinya dhobit. Yaitu orang yang benar-benar sadar ketika menerima hadit, paham ketika mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya. Perawi harus hafal dan mengerti apa yang diriwayatkannya (bila ia meriwayatkan darihafaalannya) serta memahaminya (bila ia meriwayatkannya seca-ra makna). Dan harus menjaga tulisannya dari perubahan, penggantian ataupun penambahan, bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
d)     Yang diriwayatkan tidak syad. Yang dimaksud dengan syudzudz adalah penyimpa- ngan oleh perawi tsiqat terhadap orang yang lebih kuat darinya.
e)      Yang diriwayatkan terhindar dari ‘illat qadihah (‘illat yang mencacatkannya), seperti memursalkan yang maushul, memuttashilkan yang munqothi’, ataupun memarfu’kan yang mauquf.
3)       Definisi yang terpilih
               “Hadits shahih adalah hadits yang muttashilsanadnya melalui priwayatan perawi tsiqat dari perawi (lain) yang tsiqat pula, sejak awal sampai akhir sanad tanpa syudzudz dan tanpa ‘illat.



b.       Klasifikasi Hadits Shahih
              Hadits shahih terbagi menjadi dua :
1)      Shahih li Dzatihi.
          Yaitu hadits shahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, seperti pengertian hadits shahih yang telah dijelaskan di atas.
2)   Shahih li Ghairihi.
      Yaitu hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Misal-nya perawinya yang adil tidak sempurna kedhabitannya (kapasitas intelektualnya rendah).

2.      Hadits Hasan
a.       Definisi
1)      Definisi Ibn Hajar                                                                                    
“Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih seluruhnya, hanya saja semua perawinya atau sebagiannya kedhabitannya lebih sedikit dibanding kedhabitan para perawi hadits shahih.
2)      Definisi yang terpilih
“Hadits hasan adalah hadits yang muttashil sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adilyang lebih rendah kedhabitannya tanpa syad dan tanpa ‘illat.

b.      Klasifikasi Hadits Hasan
Hadits hasan terbagi menjadi dua ;
1)      Hasan li Dzatihi
“Hadits yang kehasanannya muncul karena memenuhi syarat-syarat tertentu,    bukan karena faktor lain diluarnya.
2)      Hasan li Ghairihi
“Hadits yang didalamnya terdapat perawi “mastur” yang belum tegas kualitasnya, tetapi bukan perawi yang pelupa atau sering melakukan kesalahan dalam riwayat-riwayatnya, bukan “muttaham bil kidzb” dalam hadits, juga bukan karena sebab lain yang dapat menyebabkannya tergolong fasik, tapi dengan syarat mendapatkan penguat dari perawi lain yang mu’tabar, baik berstatus muttabi’ maupun syahid.
Imam adz-Dzahabi mengatakan : “Tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari ayahnya dari kakeknya, Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari ka- keknya, Ibnu Ishaq dari at-Taimiy dan sanad sejenis yang menurut sebagian ulama’ dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah.
Sedangkan sanad yang diperselisihkan antara hasan dan dha’ifnya, seperti riwayat al-Harits ibn Abdillah, ‘Ashim ibn Dhamrah, Hajjaj ibn Arthat dan lain-lain.

3.      Hadits Dha’if
a.       Definisi
“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima”. Mayoritas ulama’ menyatakan : Hadits dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih ataupun syarat-syarat hasan.
b.      Klasifikasi Hadits dha’if
Hadits dha’if  banyak sekali jenisnya dan banyak sekali sebab-sebab kedha’ifannya. Sebab-sebab itu dapat dikembalikan pada satu diantara dua sebab pokok, yaitu:
c.       Hadits-hadits dha’if karena ketidakmuttashilan sanadnya yaitu:
1)      Hadits Mursal
“Hadits yang dimarfu’kan oleh seorang tabi’iy kepada Rosul SAW., baik berupa  sabda, perbuatan maupun taqrir, baik tabi’iy itu kecil atau besar.
Menurut ulama’ fiqh dan ushul, hadits mursal adalah hadits yang perawinya melepas-kannnya tanpa menjelaskan sahabat yang ia ambil riwayatnya. Hukum Mursal Tabi’iy :
a)      Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.
b)      Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.
c)      bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang menguatkannya.
2)      Hadits Munqathi’
“Hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau di dalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham.” Contoh  hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrozaq dari Al-Tsaury dari Abu Ishaq dari Zaid Ibnu Yutsai dari Hudzaifah secara marfu’.





3)      Hadits Mu’dhal
“Hadits yang dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-  turut.” Contoh diriwayatkan dari sebagian ahli hadits perkataan para penulis fikih: bahwa “Rasulullah saw. Bersabda begini-begini,” Termasuk mu’dhal. Karena diantara para penulis itu dengan Rasulullah terdapat dua perawi atau lebih.
d.      Hadits-hadits dha’if karena selain ketidakmuttashilan sanad :
1)      Hadits Mudha’af
“Hadits yang tidak disepakati kedha’ifannya.” Sebagian ahli hadits menilainya mengandung kedhaifan, baik di dalam sanad atau dalam matannya, dan sebagian yang lain menilainya kuat. Akan tetai penilaian dha’if itu lebih kuat. Karena tidak ada istilah mudha’af untuk hadits yang penilaian kuatnya lebih kuat. Ibn al-Jauziy merupakan orang yang pertama kali melakukuan pemilahan terhadap jenis ini.
2)      Hadits Mudhtharib
“Hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih”. Apabila salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satu alasan tarjih, maka penilaian diberikan kepada yang rajih itu. Dan dalam kondisi seperti ini tidak lagi digunakan istilah mudhtharib, baik untuk yang rajih maupun yang marjuh. Kemudhthariban dapat terjadi pada satu perawi atau sanad dan matan, tapi juga dapat terjadi pada sanad dan matan sekaligus. 
Kemudhthariban mengakibatkan kedhaifan suatu hadits, karena menunjukkan ketidakdhabitan. Padahal kedhabitan adalah syarat keshahihan dan kehasanan, kecuali dalam satu keadaan. Yaitu bila terjadi ikhtilaf mengenai nama seseorang perawi atau nama ayahnya, ataupun nama nisbatnya. Dan perawi yang diikhtilafkan amanya itu berkualitas tsiqat. Sehinnga haditsnya tetap dihukumi shahih ataupun hasan, sesuai dengan pemenuhannya terhadap syrat-syarat masing-masing. Dan kemudhthariban seperti itu tidak berpengaruh, meski tetap disebut hadits mudhtharib.  
3)      Hadits  Maqlub
“Hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi dari matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu sanad untuk matan lainnya”. Kadang-kadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu terbaliknya nama seorang perawi. Misalnya Murrah Ibn Ka’b jadi Ka’b Ibn Murrah.

Kadang-kadang suatu hadits diriwayatkan melalui jalur  perawi atau dengan sanad yang telah popular. Lalu tertukar dangan perawi (lain) pada tingkatannya atau dengan sanad (lain) yang bukan sanadnya, karena tidak sengaja.
Terkadang seorang perawi sengaja membalikkan dengan tujuan menunjukkan yang aneh dengan harapan orang-orang akan lebih tertarik meriwayatkan darinya.
Ada juga sebagian ulama’ yang sengaja membalikkan beberapa hadits dengan tu-juan mengetes (orang lain), seperti yang mereka lakukan pada Imam Bukhori di Baghdad. Jenis ini dibolehkan, dengan syarat untuk tujuan menguji.
4)      Hadits Syadz      
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa hadits syad bukanlah hadits dimana perawi tsiqat meriwayatkan hadits yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain. Yang dimaksud hadits syad adalah “Hadits yang bila diantara sekian perawi tsiqot ada diantara mereka yang menyimpang dari lainnya.”
Kriteria syad adalah tafarrud(kesendirian perawinya) dan mukholafah (penyimpa-ngan). Jika ada seorang perawi yang berkualitas tsiqat melakukan pe-nyendirian dalam meriwayatkan suatu hadits tanpa menyimpang dari yang lainnya, maka haditsnya shahih, bukan syad. Dan jika ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat karena kelebihan kualitas hafalan atau banyaknya jumlah perawi atau karena kriteria tarjih lainnya, maka yang rajih disebut mahfudz, sedang yang marjuh disebut syadz.
Contoh syad adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidziy dari hadits Abdul Wahid ibn Yazid dari al-A’masy dari Abu Shalehdari Abu Huroiroh secara marfu’:
“Jika salah seorang diantara kamu telah melakukan shalat dua raka’at fajar maka hendaklah ia berbaring pada lambung kanannya”.
Al-Baihaqiy berkata : bahwa abdul Wahid berbeda dengan sejumlah perawi (lain) dalam hal ini. Perawi lain meriwayatkan dari perbuatan Nabi saw., bukan sabda-nya Abdul Wahid juga melakukan penyendirian dari sekian murid Al-A’masy  [9]


Pembagian Hadits Bedasarkan Persambungan Dan Keadaan Sanad
Pembagian hadits bedasarkan sanad, yang di tinjau dari segi persambungan sanad, dan dari segi sifat-sifat yang ada pada sanad dan secara periwayatannya, dapat di kemukakan di bawah ini.
Hadits Ditinjau Dari Segi Persabungan Sanad Terjadi Pada:
1.      Hadits muttasil: hadits yang besambung sanadnya sampai akhir, baik marfu maupun mauquf
2.      Hadits yang bersambung sanadnya dari awal sampai akhir, tetapi sandaranya hanya kepada Nabi, tidak pada sahabat dan tidak pula pada tabi’in
Hadits Ditinjau Dari Sifat Dan Cara Penyampaian Periwayatannya Terbagi Menjadi:
1.      Hadits mu’an’an: hadits yang disebutkan dalam sanadnya diriwayatkan oleh si fulan dari si fulan atau memakai lafadzh “an” (dari), dengan tidak menyebutkan perkataan memberitakan, mengabarkan, dan atau mendengar,
2.      Hadits muannan: hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang memakai lafadz “anna” (bahwasannya) pada sanadnya.
3.      Haitd musalsa: hadits yang secara berturut-turut sanadnya sama dalam satu sifat atau dalam satu keadaan dan atau dalam satu periwayatannya.
4.      Hadits Ali: hadits yang sedikit jumlah para perawinya sampai kepada Rasulullah di bandingkan dengan sanad lain.
5.      Hadits yang banyak jumlah perawinya sampai kepada Rasulullah di bandingkan dengan sanad lain.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.
Al-Mashudi, HAfisz Hasan.2000. Ilmu Musthola Hadits Oleh Fadhil Said An-Nadwi.:
Al-Hidayah. Surabaya
Ibid, hlm. 88
M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.


KESIMPULAN
A.    Macam-Macam Hadits
1.      Hadits Musnad Adalah hadits musnad adalah hadits yang sanadnya bersambung dari awal rawi hingga akhir.
2.      Hadits Maqthu’ Adalah Menurut bahasa adalah isim fa’il dari kata kerja ittishala lawan kata dari inqatha’a artinya yang bersambung.Adapun menurut istilah adalah hadits yang sanadnya bersambung kepada nabi SAW, sahabat dengan cara setiap rawi mendengar dari orang atas (Guru)nya.
3.      Hadits Muttasil Adalah
4.      Hadits Munqhati’



[1] Al-Mashudi, HAfisz Hasan.2000. Ilmu Musthola Hadits Oleh Fadhil Said An-Nadwi.: Al-Hidayah. Surabaya
[2]M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
[3]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.
[4]M. Noor Sulaiman. Loc.cit.,hlm 86.
[5]Ibid, hlm. 88
[6]Ibid. Hlm. 91
[7]Ibid. Hlm. 90
[8]Ibid. hlm. 93
[9] http://caid17.blogspot.com/2011/08/pembagian-hadits-berdasarkan-kualitas.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar