BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Macam-Macam Hadits
1.
Hadits Musnad
Secara lugho adalah disandarkan, sedangkan secara
istilah adalah hadits yang disandarkan kepada nabi SAW. Dengan sanad yang
bersambung-sambung, dari perawinya hingga nabi SAW.
Imam Al-Khatib Al-Baghdady berkata : hadits musnad
adalah hadits yang sanadnya bersambung dari awal rawi hingga akhir. Istilah
musnad lebih banyak digunakan untuk hadits yang dating dari nabi SAW saja,
bukan untuk hadits yang datang dari selain nabi SAW. Misalnya sahabat atau
tabi’in. contohnya adalah ucapan imam malik :
حدثنا نافع قال , حدثنا اببن عمر قال
سمعت رسول الله صلى ا عليه وسلم يقول .......
Nafi’ bercerita kepada kami, dia berkata “ibnu umar
bercerita kepada kami, dia berkata
: saya mendengar Rasulullah SAW bersabda….”
2.
Hadits Maqthu’
Menurut bahasa adalah isim maf’ul dari kata kerja
qatha’a lawan dari kata washola (sambung) sehingga maqthu’ artinya yang
diputuskan atau yang terputus, yang dipotong atau yang terpotong.
Adapun menurut istilah adalah perkataan, perbuatan
atau pengakuan yang disandarkan kepada orang dari generasi tabi’in dan orang
generasi sesudahnya, baik sanadnya bersambung maupun tidak.
Contoh hadits maqthu’ adalah perkatann sifyan
Ats-Tsaury, seorang tabi’in yang mengatakan :
من السنة آ يصلي بعد الفطر اثنتي عشر
ركعة ةبعد الأضحى ست ركعات
Artinya : “Termasuk sunnah adalah mengerjakan shalat
12 rakaat setelah shalat idul fitri, dan 6 rakaat seteleh sholat idul adha”.
3.
Hadits Muttasil
Menurut bahasa adalah isim fa’il dari kata kerja ittishala
lawan kata dari inqatha’a artinya yang bersambung.Adapun menurut istilah adalah
hadits yang sanadnya bersambung kepada nabi SAW, sahabat dengan cara setiap
rawi mendengar dari orang atas (Guru)nya :
Contohnya adalah ucapan Imam Malik :
سمعت نافعا، قال سمعت إبن عمر قال
سمعت رسول الله صلى ا عليه وسلم يقول كذا
Artinya : “Saya mendengar dari nafi’ dia berkata :
saya mendengar Ibnu Umar berkata : Saya mendengar Nabi SAW bersabda ……….”.
4.
Hadits Munqhati’
Merupakan isim fail dari kata Inqitha lawan dari kata
Ittashala yang artinya hadits yang terputus.Menurut ketetapan ahli hadits
adalah satu hadits yang ditengah sanadnya gugur seorang rawi / beberapa rawi,
tetapi tidak berturut-turut.
Definisi lain adalah hadits yang gugur rawinya sebelum
sahabat, di satu tempat atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan
tidak berturut-turut.[1]
B.
Pembagian
Hadits sari segi Kuantitas Perawi
Para ulama hadits berbeda pendapat
tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang
menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga
bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya
menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama,
menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam
hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu
Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh
sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut
mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi
hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian,
yaitu hadits mutawatir dan ahad.[2]
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti
: Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia
merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika
atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan
seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai
thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir
adalah :
مـَا
كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ
مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكـَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada
panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang
mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.[3]
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat
dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits mutawatir.Ulama
mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan
ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya
suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya.Sementara dalam
hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan.Jika sudah jelas statusnya
sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.[4]
b.
Syarat Hadits Mutawatir
1)
Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan
dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda
pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa
jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena
jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari
menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak.
Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir
sebanyak 70 orang.
2)
Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat
berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah
satu persyaratan.
3)
Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para
perawi harus berdasarkan pancaindera.Artinya, harus benar-benar dari hasil
pendengaran atau penglihatan sendiri.Oleh karena itu, apabila berita itu
merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain,
atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits
mutawatir.[5]
c.
Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1)
Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan
makna yang sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
قـَالَ
رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فـَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Rasulullah SAW bersabda,
“Barang siapa yang ini sengaja berdusta
atas namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api
neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini
diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2)
Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari
berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika
disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits
yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال
ابو مسى م رفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ
من
دعائه إلا فى الإستسقاء (رواه البخارى ومسلم)
Abu Musa Al-Asy’ari berkata
bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a
hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat
istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)
3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah)
yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat,
kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi
sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya,
shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi
ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.
Mengingat syarat-syarat
hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi, maka Ibn
Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin
ada.Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah.Dia menyatakan bahwa hadits
mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas.
Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk
mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta
kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan
perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara
khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
a)
Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam
Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
b)
Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh
Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)[6]
2.
Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk
plural dari kata wahid.Kata wahid
berarti “satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu
sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan
oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat
untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah
hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.[7]
Ulama ahli hadits membagi
hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur.Hadits ghairu masyhur
terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.
a. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur
berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan menurut istilah
ada beberapa definisi, antara lain :
مـَارَوَاهُ مِنَ الصَّحَابَهِ عَدَدٌ لا يَبْلُغُ حَدَّ
تَـوَاتِر بَعْدَ الصَّحَابَهِ وَمِنْ بَعْدِهِمْ
“Hadits yang
diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah
mereka.”
Hadits masyhur ada yang
berstatus shahih, hasan dan dhaif.Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah
yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya.Seperti
hadits ibnu Umar.
اِذَا جَاءَكُمُ اْلجُمْعَهُ فَلْيَغْسِلْ
“Barang siapa yang hendak pergi
melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan hadits masyhur
yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits
hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضـــِرَارَ
“tidak memberikan bahaya atau membalas
dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang
dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan,
baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَــهٌ عــَـلَي كُلِّ مُسْلِمٍ
وَمُسْلِمَــــهٍ
“menuntut ilmu
wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Dilihat dari aspek yang
terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam:
1)
Masyhur dikalangan ahli
hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca do’a qunut
sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan.
(H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2)
Masyhur dikalangan
ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga dikalangan
orang awam, seperti :
َاْلمُسْلِمُ مَنْ سَـــــلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ
لِســـَـانِهِ وَيدِهِ
3)
Masyhur dikalangan ahli
fiqh, seperti :
نَهَي رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهِ عَلَيْــــهِ
وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ اْلغَرَرِ
“Raulullah SAW melarang jual
beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4)
Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :
اِذَا
حَكَمَ اْلحَاكِمُ ثُمَّ اجْتَهَدَ فَـــأَصَابَ فَلـَــهُ أَجْرَانِ وَاِذَا
حَكَــــمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخَــــطَأَ فَلـَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara
kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua
pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah,
maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).
5)
Masyhur dikalangan ahli
Sufi, seperti :
كُنْتُ
كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرِفَ فَخَلـَقْتُ اْلخَلْقَ فَبِي
عَرَفُوْنِي
“Aku pada mulanya adalah
harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan
melalui merekapun mengenal-Ku
6)
Masyhur
dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling
fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.[8]
A.
Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi
hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib.Aziz menurut bahasa
berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”.Menurut istilah
hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam
semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan
menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat perawinya tiga
orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu
thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang.Oleh karena itu, ada ulama yang
mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau
tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat
dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang
diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang
diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِـدِهِ
وَوَلــِدِهِ وَالنـَّـاسِ أَجْمَعِيْنَ
“tidak beriman seorang di
antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya,
anaknya, dan semua manusia,”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun hadits Gharib,
menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi ilmu
hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri
dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang
dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam sanadnya
terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam
meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni tidak ada
yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan
perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat
dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping
itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir
sanad.
C. Pembagian
Hadits Berdasarkan Kualitas Sanad Dan Matannya
1. Hadits Shahih
a.
Definisi
1)
Definisi Ibn ash-Shalah.
Abu
Amr ibn ash-shalah mengatakan :
“Hadits
shahih adalah musnad yang sanadnya muttashil yang melalui periwayatan orang
yang adl lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya,
tidak syad dan tidak mu’allal (terkena ‘illat).
2)
Definisi Imam Nawawiy
“Hadits
shahih adalah hadits yang miuutashil sanadnya melalui (periwayatan) orang-orag
yang adil lagi dhabit tanpa syad dan ‘illat.
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa hadits shahih harus
memenuhi lima syarat :
a)
Muttashil sanadnya. Dikecualikan hadits munqothi’,
mu’dhal, mu’allaq, mudallas dan jenis lain yang tidak
memenuhi kriteria muttashil ini.
b)
Perowi-perowinya adil. Yaitu orang yang lurus agamanya,
baik pekertinya dan bebas dari kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan
keperwiraannya.
c)
Perawi-perawinya dhobit. Yaitu orang yang benar-benar sadar
ketika menerima hadit, paham ketika mendengarnya dan menghafalnya sejak
menerima sampai menyampaikannya. Perawi harus hafal dan mengerti apa yang
diriwayatkannya (bila ia meriwayatkan darihafaalannya) serta memahaminya (bila
ia meriwayatkannya seca-ra makna). Dan harus menjaga tulisannya dari perubahan,
penggantian ataupun penambahan, bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
d)
Yang diriwayatkan tidak syad. Yang dimaksud dengan syudzudz
adalah penyimpa- ngan oleh perawi tsiqat terhadap orang yang lebih kuat
darinya.
e)
Yang diriwayatkan terhindar dari
‘illat qadihah
(‘illat yang mencacatkannya), seperti memursalkan yang maushul, memuttashilkan
yang munqothi’, ataupun memarfu’kan yang mauquf.
3)
Definisi yang terpilih
“Hadits
shahih adalah hadits yang muttashilsanadnya melalui priwayatan perawi tsiqat
dari perawi (lain) yang tsiqat pula, sejak awal sampai akhir sanad tanpa
syudzudz dan tanpa ‘illat.
b.
Klasifikasi Hadits Shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua :
1)
Shahih li Dzatihi.
Yaitu hadits shahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara
maksimal, seperti pengertian hadits shahih yang telah dijelaskan di atas.
2) Shahih li Ghairihi.
Yaitu
hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Misal-nya
perawinya yang adil tidak sempurna kedhabitannya (kapasitas intelektualnya
rendah).
2. Hadits Hasan
a.
Definisi
1) Definisi
Ibn Hajar
“Hadits
hasan adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih seluruhnya, hanya
saja semua perawinya atau sebagiannya kedhabitannya lebih sedikit dibanding
kedhabitan para perawi hadits shahih.
2) Definisi
yang terpilih
“Hadits
hasan adalah hadits yang muttashil sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang
adilyang lebih rendah kedhabitannya tanpa syad dan tanpa ‘illat.
b. Klasifikasi
Hadits Hasan
Hadits hasan terbagi menjadi dua ;
1) Hasan li Dzatihi
“Hadits yang kehasanannya muncul karena memenuhi
syarat-syarat tertentu, bukan karena faktor lain diluarnya.
2) Hasan li Ghairihi
“Hadits yang didalamnya terdapat perawi “mastur” yang belum
tegas kualitasnya, tetapi bukan perawi yang pelupa atau sering melakukan
kesalahan dalam riwayat-riwayatnya, bukan “muttaham bil kidzb” dalam hadits,
juga bukan karena sebab lain yang dapat menyebabkannya tergolong fasik, tapi
dengan syarat mendapatkan penguat dari perawi lain yang mu’tabar, baik
berstatus muttabi’ maupun syahid.
Imam
adz-Dzahabi mengatakan : “Tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari ayahnya dari kakeknya, Amr
ibn Syu’aib dari ayahnya dari
ka- keknya, Ibnu Ishaq dari at-Taimiy dan sanad sejenis yang menurut
sebagian ulama’ dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih
terendah.
Sedangkan
sanad yang diperselisihkan antara hasan dan dha’ifnya, seperti riwayat al-Harits ibn Abdillah, ‘Ashim ibn Dhamrah,
Hajjaj ibn Arthat dan lain-lain.
3. Hadits Dha’if
a. Definisi
“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat bisa diterima”. Mayoritas ulama’ menyatakan : Hadits dha’if yaitu hadits
yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih
ataupun syarat-syarat hasan.
b. Klasifikasi
Hadits dha’if
Hadits dha’if banyak sekali
jenisnya dan banyak sekali sebab-sebab kedha’ifannya. Sebab-sebab itu dapat
dikembalikan pada satu diantara dua sebab pokok, yaitu:
c. Hadits-hadits
dha’if karena ketidakmuttashilan sanadnya yaitu:
1) Hadits Mursal
“Hadits yang dimarfu’kan oleh
seorang tabi’iy kepada Rosul SAW., baik berupa sabda, perbuatan maupun
taqrir, baik tabi’iy itu kecil atau besar.
Menurut ulama’ fiqh dan ushul, hadits mursal adalah hadits
yang perawinya melepas-kannnya tanpa menjelaskan sahabat yang ia ambil
riwayatnya. Hukum Mursal Tabi’iy :
a) Boleh berhujjah dengan hadits mursal
secara mutlak.
b) Tidak boleh berhujjah dengan hadits
mursal secara mutlak.
c) bisa dijadikan sebagai hujjah bila
ada yang menguatkannya.
2)
Hadits
Munqathi’
“Hadits yang dalam sanadnya gugur
satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau di dalamnya disebutkan
seorang perawi yang mubham.” Contoh hadits yang
diriwayatkan oleh Abdurrozaq dari
Al-Tsaury dari Abu Ishaq dari Zaid Ibnu Yutsai dari Hudzaifah secara
marfu’.
3)
Hadits
Mu’dhal
“Hadits yang dari sanadnya gugur dua
atau lebih perawinya secara berturut- turut.” Contoh diriwayatkan dari sebagian
ahli hadits perkataan para penulis fikih: bahwa “Rasulullah saw. Bersabda
begini-begini,” Termasuk mu’dhal. Karena diantara para penulis itu dengan
Rasulullah terdapat dua perawi atau lebih.
d. Hadits-hadits
dha’if karena selain ketidakmuttashilan sanad :
1) Hadits Mudha’af
“Hadits yang tidak disepakati kedha’ifannya.” Sebagian ahli hadits menilainya
mengandung kedhaifan, baik di dalam sanad atau dalam matannya, dan sebagian
yang lain menilainya kuat. Akan tetai penilaian dha’if itu lebih kuat. Karena
tidak ada istilah mudha’af untuk hadits yang penilaian kuatnya lebih kuat. Ibn
al-Jauziy merupakan orang yang pertama kali melakukuan pemilahan terhadap jenis
ini.
2) Hadits Mudhtharib
“Hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling
berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya atas sebagian yang lain,
baik perawinya satu atau lebih”. Apabila salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satu
alasan tarjih, maka penilaian diberikan kepada yang rajih itu. Dan dalam kondisi
seperti ini tidak lagi digunakan istilah mudhtharib,
baik untuk yang rajih maupun yang marjuh. Kemudhthariban dapat terjadi pada
satu perawi atau sanad dan matan, tapi juga dapat terjadi pada sanad dan matan
sekaligus.
Kemudhthariban
mengakibatkan kedhaifan suatu hadits, karena menunjukkan ketidakdhabitan.
Padahal kedhabitan adalah syarat keshahihan dan kehasanan, kecuali dalam satu
keadaan. Yaitu bila terjadi ikhtilaf mengenai nama seseorang perawi atau nama
ayahnya, ataupun nama nisbatnya. Dan perawi yang diikhtilafkan amanya itu
berkualitas tsiqat. Sehinnga haditsnya tetap dihukumi shahih ataupun hasan,
sesuai dengan pemenuhannya terhadap syrat-syarat masing-masing. Dan
kemudhthariban seperti itu tidak berpengaruh, meski tetap disebut hadits mudhtharib.
3) Hadits Maqlub
“Hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi dari
matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu sanad untuk matan
lainnya”.
Kadang-kadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu terbaliknya nama
seorang perawi. Misalnya Murrah Ibn Ka’b jadi Ka’b Ibn Murrah.
Kadang-kadang
suatu hadits diriwayatkan melalui jalur perawi atau dengan sanad yang
telah popular. Lalu tertukar dangan perawi (lain) pada tingkatannya atau dengan
sanad (lain) yang bukan sanadnya, karena tidak sengaja.
Terkadang
seorang perawi sengaja membalikkan dengan tujuan menunjukkan yang aneh dengan
harapan orang-orang akan lebih tertarik meriwayatkan darinya.
Ada
juga sebagian ulama’ yang sengaja membalikkan beberapa hadits dengan tu-juan
mengetes (orang lain), seperti yang mereka lakukan pada Imam Bukhori di
Baghdad. Jenis ini dibolehkan, dengan syarat untuk tujuan menguji.
4) Hadits Syadz
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa
hadits syad bukanlah hadits dimana perawi tsiqat meriwayatkan hadits yang sama
sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain. Yang dimaksud hadits syad adalah “Hadits yang bila diantara sekian perawi
tsiqot ada diantara mereka yang menyimpang dari lainnya.”
Kriteria
syad adalah tafarrud(kesendirian
perawinya) dan mukholafah
(penyimpa-ngan). Jika ada seorang perawi yang berkualitas tsiqat melakukan
pe-nyendirian dalam meriwayatkan suatu hadits tanpa menyimpang dari yang
lainnya, maka haditsnya shahih, bukan syad. Dan jika ada yang menyimpang
darinya yang lebih kuat karena kelebihan kualitas hafalan atau banyaknya jumlah
perawi atau karena kriteria tarjih lainnya, maka yang rajih disebut mahfudz,
sedang yang marjuh disebut syadz.
Contoh
syad adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidziy dari hadits
Abdul Wahid ibn Yazid dari al-A’masy dari Abu Shalehdari Abu Huroiroh secara
marfu’:
“Jika salah seorang diantara kamu
telah melakukan shalat dua raka’at fajar maka hendaklah ia berbaring pada
lambung kanannya”.
Al-Baihaqiy
berkata : bahwa abdul Wahid berbeda dengan sejumlah perawi (lain) dalam hal
ini. Perawi lain meriwayatkan dari perbuatan Nabi saw., bukan sabda-nya Abdul
Wahid juga melakukan penyendirian dari sekian murid Al-A’masy [9]
Pembagian Hadits Bedasarkan
Persambungan Dan Keadaan Sanad
Pembagian hadits bedasarkan sanad,
yang di tinjau dari segi persambungan sanad, dan dari segi sifat-sifat yang ada
pada sanad dan secara periwayatannya, dapat di kemukakan di bawah ini.
Hadits Ditinjau Dari Segi Persabungan Sanad Terjadi
Pada:
1. Hadits
muttasil: hadits yang besambung sanadnya sampai akhir, baik marfu maupun mauquf
2. Hadits
yang bersambung sanadnya dari awal sampai akhir, tetapi sandaranya hanya kepada
Nabi, tidak pada sahabat dan tidak pula pada tabi’in
Hadits Ditinjau Dari Sifat Dan Cara Penyampaian
Periwayatannya Terbagi Menjadi:
1. Hadits
mu’an’an: hadits yang disebutkan dalam sanadnya diriwayatkan oleh si fulan dari
si fulan atau memakai lafadzh “an” (dari), dengan tidak menyebutkan perkataan
memberitakan, mengabarkan, dan atau mendengar,
2. Hadits
muannan: hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang memakai lafadz “anna”
(bahwasannya) pada sanadnya.
3. Haitd
musalsa: hadits yang secara berturut-turut sanadnya sama dalam satu sifat atau
dalam satu keadaan dan atau dalam satu periwayatannya.
4. Hadits
Ali: hadits yang sedikit jumlah para perawinya sampai kepada Rasulullah di
bandingkan dengan sanad lain.
5. Hadits
yang banyak jumlah perawinya sampai kepada Rasulullah di bandingkan dengan
sanad lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.
Al-Mashudi, HAfisz Hasan.2000.
Ilmu Musthola Hadits Oleh Fadhil Said An-Nadwi.:
Al-Hidayah. Surabaya
Ibid, hlm. 88
M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung
Persda Pres, 2008. hlm. 86.
KESIMPULAN
A. Macam-Macam
Hadits
1.
Hadits Musnad Adalah hadits musnad adalah hadits yang
sanadnya bersambung dari awal rawi hingga akhir.
2.
Hadits Maqthu’ Adalah Menurut bahasa adalah isim fa’il
dari kata kerja ittishala lawan kata dari inqatha’a artinya yang
bersambung.Adapun menurut istilah adalah hadits yang sanadnya bersambung kepada
nabi SAW, sahabat dengan cara setiap rawi mendengar dari orang atas (Guru)nya.
3.
Hadits Muttasil Adalah
4.
Hadits Munqhati’
[1] Al-Mashudi,
HAfisz Hasan.2000. Ilmu Musthola Hadits Oleh Fadhil Said An-Nadwi.:
Al-Hidayah. Surabaya
[2]M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
[3]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan
ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.
[4]M. Noor Sulaiman. Loc.cit.,hlm 86.
[5]Ibid, hlm. 88
[6]Ibid. Hlm. 91
[7]Ibid. Hlm. 90
[8]Ibid. hlm. 93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar