BAB II
TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
A. Tahapan Turunnya Al-qur’an
Allah SWT telah memuliakan umat Muhammad s.a.w, karenanya Dia menurunkan
kepadanya kitab yang luar biasa, sebagai penutup dari kitab-kitab samawy, menjadi
undang-undang kehidupan, pemecah persoalan, param pengobat penyakit dan kanker
masyarakat, tanda keagungan dan keluhuran sebagai umat pilihan untuk bisa
mengemban risalah samawiyah yang paling mulia, dimana Allah memuliakan dengan
bekal kitab yang luhur ini dan diturunkan khusus kepada seorang rasul yang
mulia Muhammad bin Abdillah.
Alqur’an diturunkan melalui dua tahap :
1.
Dari
Lauhil Mahfuzh ke sama’ (langit) dunia secara sekaligus pada malam lailatul
qadar.
2.
Dari
sama’dunia ke bumi secara bertahap dalam masa dua puluh tiga tahun.
a.
Penurunan
Pertama
Pada
malam mubarakah yaitu malam Lailatul Qadar diturunkanlah Al-Qur’an
secara sempurna ke Baitul ‘Izzah di langit pertama. Alasan yang demikian adalah
didasarkan dari nash sebagai berikut:
Tiga ayat diatas menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada suatu malam
yang dinyatakan dengan malam mubarakah serta dinamai dengan malam Lailatul
Qadar yaitu salah satu malam pada bulan Ramadhan. Hal ini menyatakan bahwa
turunnya Al-Qur’an ialah turun tahap pertama ke Baitul ‘Izzah di langit
pertama. Sebagai alasannya apabila yang dimaksud dalam penurunan ini adalah
penurunan tahap kedua yaitu kepada Nabi SAW. Maka tidaklah tepat bila dikatakan
satu malam dan satu bulan yaitu bulan Ramadhan, karena Al-Qur’an diturunkankan
kepada Nabi dalam masa yang lama yaitu selama masa kerasulan 23 tahun serta
diturunan bukan saja pada bulan Ramadhan tetapi juga pada bulan selainnya. Dari itu nyatalah bahwa yang dimaksudkan adalah penurunan pada
tahap pertama.
Adapun
hadits-hadits shahih yang menguatkan analisa diatas sebagai berikut:
1.
Dari
Ibnu Abas r.a.,bahwa ia berkata: Al-Qur’an
itu dipisahkan dari dzikir lalu diturunkan ke Baitul ‘Izza di langit pertama
kemudian disampaikan oleh jibril kepada Nabi SAW.[1]
2.
Dari
Ibnu Abbas r.a. bahwasannya ia berkata :”Al-Qur’an
diturunkan sekaligus ke langit pertama (tempat turun secara berangsur). Dari
sinilah Allah menurunkan kepada Rasulnya sedikit demi sedikit.[2]
3.
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas pula bahwa ia berkata: “Al-qur’an itu
diturunkan pada malam Lailatul Qadar dibulan Ramadhan ke langit pertama secara
sekaligus, kemudian diturunkan secara berangsur-anngsur “.[3]
b.
Penurunan
kedua
Penurunan tahap yang kedua adalah dari langit
pertama ke dalam lubuk hati Nabi s.a.w dengan cara berangsur-angsur yang
memakan waktu selama 23 tahun yaitu sejak kebngkitannya sebagai Rasul sampai
beliau wafat.
Alasan
bahwa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur adalah:
1.
Firman
Allah dalam surat Al-isra’:
2.
Firman
Allah dalam surat Al-Furqan :
Dikatakan bahwa orang-orang Yahudi dan
orang-orang musyrik mencela Nabi s.a.w. karena diturunkannya Al-Qur’an secara
terpisah-pisah. Mereka menghendaki agar diturunkannya Al-Qur’an secara
sekaligus. Mereka berkata kepada Nabi s.a.w: “Hai ayah Qasim !menngapa Al-Qur’an
tidak diturunkan secara sekaligus sebagaimana diturunknnya taurat kepada Musa? Dari peristiwa itu maka turunlah dua ayat tersebut diatas sebagai
bantahan terhadap mereka. Bantahan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Az-Zarqani
mwngandung dua pengertian :
1.
Bahwa
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi s.a.w secara berangsur-angsur
2.
Kitab
samawy sebelumnya diturunkan secara sekaligus, sebagaimana
telah populer dikalangan Jumhur Ulama bahkan dapat dikatakan ijma’.
Analisis dari dua pengertian diatas adalah :
1. Allah membenarkan apa yang dikemukakan oleh mereka bahwa turunnya
kitab-kitab samawy terdahulu adalah sekaligus. Dapat ditandai bahwa Allah menjawab
pertanyaan mereka secar filosofs bahwa turunnya Al-Qur’an adalah
berangsur-angsur dan andai kata turunnya kitab-kitab samawy sebelum Al-Qur’an
secara berangsur-angsur pula sebagaimna halnya Al-Qur’an, niscaya Allah akan
memberi bantahan terhadap mereka bahwa mereka tidak membenarkannya
(mendustakannya).
2.
Menyatakan
bahwa penurunan secara berangsur-angsur adalah merupakan sunnatullah sebagaiman
dia
menurunkan sekaligus kitab-kitab kepada para nabi terdahulu.
B.
Hikmah
Turunnya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur
Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur itu mengandung hikmah yang nyata
serta rahasia yang cukup banyak, dimana yang mengetahuinya hanyalah orang-orang
yang alim/pandai, sedangkan orang-orang yang bodoh tentu tidak akan mengeti. Diantara
hikmah-hikamhnya yaitu:
a. Meneguhkan hati atau tanggapan Nabi s.a.w dalam menghadapi celaan dari
orang-orang musyrik, yaitu ketika merka menganjurkan agar Al-Qur’an diturunkan
secara sekaligus sebagaiman kitab-kitab samawyah terdahulu, yang dimaksud
dengan meneguhkan hati Nabi hanyalah sekedar pemeliharaan Allah serta penguat
bagi seorang Rasul Allah dihadapan penantang utamanya dalam menghadapi
penganiayaan terhadap dirinya dan pengikutnya. Ayat-ayat Al-Qur’an itu
diturunkan kepada Rasul s.a.w sebagai
pelepas derita dan pembangkit ketenangan dari penderitaan yang telah dilaluinya
dalam elaksanakn da’wah dimana beliau menghadapinya dengan penuh duka dan
nestapa.
b.
Meringankan
Nabi Muhammad s.a.w dalam menerima wahyu, hal ini karena
kedalaman dan kehebatan Al-Qur’an, sebagaiman
firman Allah dalam surat al muzamil ayat 5:
انا سنلقي عليك قولا ثقيلا
Artimya: “sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu
perkataan yang berat.”
Al-Qur’an
sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah adalah merupakan sabda yang istimewa. Ia mempunyai keagungan dan
keluhuran serta kehebatan dan kedalaman. Kalau demikian halnnya maka
bagimanakah dengan hati Nabi yang bgitu lembut, mampukah ia menerima semua Al-Qur’an
dengan tidak kebingungan dan merasa keberatan karena dalamnya dan luhurnya Al-Qur’an?
Aisyah telah memberikan gambaran tentang keadaan kondisi Rasul ketika ia
menerima wahyu (Al-Qur’an) dan pengaruhnya terhadap fisik Nabi, berupa
kegoncagan jiwa dan kepanikan. Ia (Aisyah) mengemukakan sebagimana Al-Bukhary
meriwayatkan: “Sungguh aku melihat dengan mata kepala, bila turun wahyu
sekalipun udara begitu dingin tatkala selesai Nabi mengeluarakan keringat dan
pelipisnya dibsahi dengan keringat yang bercucuran karena begitu beratnya
beliau menerima wahyu”.
c.
Tadarruj
(selangkah demi selangakah) dalam menetapakan hukum samawy.
Dalam
hal ini amat nyata dan jelas, dimana metode Al-Qur’an
terhadap manusia, khususnya orang-orang Arab ada suatu metpde yang filosofis dalam
melepaskan mereka dari dunia kemusyrikan untuk hidup dengan penuh pancaran iman
seta memmbudaya dalm pribadinya untuk cinta kepada Allah dan rasul-Nya, iman
dengan hari kebangkitan dan pembalasan. Setelah itu langkah pemantapan dan
pelestarian iman hendaklah diteruskan dengan ibadah. Ibadah yang pertama
ditekankan adalah shalat yaitu pada masa sebelum hijrah, kemudian berikutnya
ibadah shaum (puasa) dan zakat yaitu pada tahun yang kedua hijriah dan yang
terakhir adalah ibadah haji yaitu pada kaum keenam hijriah. Sebagaimana halnya
ibadah juga kebiasaan yang suda membudaya, pertama-tama dititk-beratkan pada
masalah dosa-dosa besar,kemudian menyusul dosa-dosa kecil (hal-hal yang
dispelekan). Selanjutnya selangkah demi selangkah dalam mengharamkan yang sudah
mendarah daging bagi mereka seperti: khamar, riba dan judi, berdasarkan langkah
yang sangat bijaksana, yang dimungkinkan dapat mengikis habis kejahatan
tersebut ampai ke akar-akarnya.
d.
Mempermudah
dalam menghapal Al-Qur’an dan memberi pemahaman bagi kaum muslimin serta mempermudah
pemahaman dan penghayatan mereka. Telah dimaklumi
bahwa orang Islam (dimasa Nabi terdahulu), ummi (tidaj
bisa tulis baca). Al-Qur’an telah mencatat sifat mereka dengan firmannya:
(Aljumu’ah ayat
2)
هوالذي بعث في الامين رسولا منهم يتلوا عليهم
ءايته ويركيهم ويعلهم الكتب و الحكمة وان كا نوا من قبل لفي ضلل مبين
Artinya: “Dialah yang menutus kepada kaum yang buta
huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensuikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab yang Hikmah (As-Sunnah).
Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesehatan yang nyata.” (Q.S
Al-Jumu’ah: 2)
Jelaslah disini bahwa hikmahnya Allah menurunkan kitabNya
yang agung secara berangsur-angsur adalh supaya mudah dihapal oleh orang-orang
Islam karena mereka hanya berpegang kepada daya ingatannya.
e. Sejalan dengan kisah-kisah yang tejadi dan mengingatkan atas
kejadian itu, yaitu sesuai dengan kejadian dan keadaan disaat diturunkan sekaigus
memperingatkan kesalahan-kesaahan pada waktunya. Sungguh hal yang demikian itu akan lebih
mantap dan tertanam dalam hati dan lebih mendorong untuk mengambil pelajaran
secara praktis. Maka bila ada persoalan yang baru dari kalngan mereka ,turunkah
ayat yang sesuai dengan persoalan tersebut. Bila terjadi kesalahan dan
penyelewengan dikalngan mereka, turunlah Al-Qur’an memberi batasan serta pemberitahuan kepada
mereka tentang masalah mana yang harus ditinggalkan dan yang patut dikerjakan.
f. Petunjuk terhadap asal (sumber) Al-Qur’an bahwasannya Al-Qur’an diturunkan
dari zat yang Maha Bijaksana lagi Terpuji. Dalam hikmah yang luhur inilah
menurut kutipan Syeikh Mohammad Abdul Azhim Az-Zarqany dalam kitabnya
manahilul Irfan, dimana beliau
mengemukakan secara tegas “…memberi petunjuk terhadap sumber Al-Qur’an bahwa
Al-Qur’an adalah kalam Allah semata, tidak mungkin kalu Al-Qur’an itu kata-kata
Muhammad atau kata-kata makhluk lainnya …..” argumentasinya ialah: kami telah
menbaca Al-Qur’an sampai tamat, ternyata rangkaian kata-katanya begitu teratur ,lembut jalinannya, susunan
bahasanya, begitu hebat serta kuat
kaitannya. Satu sama lainnya berhubungan baik antara satu surat dengan lainnya,
ayat-ayat satu dengan lainnya maupun dilihat secara keseluruhannya. Secara
keseluruhan dari mulai alif sampai “ya’ mengalir darh kemukjizatannya, seolah-olah
Al-Qur’an adalah suatu gumpalan yang tak terpisahkan. Diantara bagian-bagiannya
tidak terpisah-pisah, tak ubahnya bagaikan untaian mutiara tau sepasag kalung
yang menarik perhatian. Huruf-huruf dan kata-katanya tersusun seara sistimatis,
kalimat dan ayat-ayat tersusun begitu rapi.
Sedangkan menurut Manna’ Khalil al-Qattan,1994: 157-175)
bahwa hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur ada lima yaitu:
a. Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah saw.
b. Sebagai tantangan dan sekaligus sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw.
c. Mempermudah hafalan dan pemahamannya terhadap Nabi Muhammad saw.
d. Kesesuaian dengan peristiwa-peristiwa dan pertahapan hukum.
e. Sebagai bukti bahwa al-Qur’an diturunkan dari Yang Maha Bijaksana dan Maha
Terpuji.
C.
Dalil
Diturunkannya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
1.
Imam
Bukhari dan Imam Muslim dalam shahihnya meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a bahwa
ia berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: “Jibril
membacakan Al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf, kemudian aku
mengulanginya (setelah itu) senantiasa aku meminta tambah dan ia pun menambahkan
sampai dengan tujuh huruf’[4]
Imam
Mulim menambahkan: “Ibnu Syihab
mengatakan: Telah sampai berita padaku bahwa tujuh huruf itu untuk perkara yang
satu yang tidak diselisihkan halal haramnya”.
2. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan yang lafazhnya dari Bukhari
bahwa: ’Umar bin Khatab r.a. berkata: “Aku
mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al-furqan dimasa hidupnya Rasulullah
s.a.w. Aku mendengar bacaannya, tiba-tiba ia membacanya dengan beberapa huruf yang belum pernah
Rasullullah s.a.w. membacakannya kepadaku sehingga aku hamper beranjak dari
shalat ,kemudian aku menunggunya sampai salam. Setelah ia salam aku menarik
sorbannya dan bertanya: “Siapa yang membacakan surat ini kepadamu?”. Ia menjawab: Rasulullah yang
membacakannya kepadaku, aku menyela: “Dusta kau, Demi Allah sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. telah membacakan surat yang kudengar dari yang kau baca ini”.
Setelah itu aku pergi membawa dia menghadap Rasulullah s.a.w. lalu aku bertanya:
“Wahai Rasulullah aku telah mendengar lelaki ini, ia membaca surat Al-furqan
dengan beberapa huruf yang belum pernah engkau bacakan kepadaku, sedangkan
engkau sendiri telah membacakan surat Al-furqan ini kepadaku. Rasulullah s.a.w
menjawab: “Hai Umar! lepaskan dia”. Bacalah Hisyam! “Kemudian dia membacakan
bacaan yang tadi aku dengar ketika ia membacanya. Rasulullah s.a.w bersabda: “Begitulah
surat itu diturunkan”, sambil menyambung sabdanya: “Bahwa Al-Qur’an ini
diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang paling mudah!”
Dalam satu riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah
s.a.w. mendengarkan pula bacaan sahabat Umar r.a. kemudian beliau bersabda: “Begitulah
bacaan itu diturunkan”.
3. Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubay bin Ka’ab ia berkata:
“Aku berada di masjid, tiba-tiba masuklah seorang lelaki, ia shalat kemudian
membaca bacaan yang aku ingkari. Setelah itu masuk lagi lelaki lain membaca
berbeda dengan bacaan kawannya yang pertama. Setelah kami selesai shalat, kami
bersama-sama masuk ke rumah Rasulullah s.a.w, lalu aku bercerita: “Bahwa si
lelaki ini membaca bacaan yang aku ingkari dan kawannya ini membaca berbeda dengan
bacaan kawannya yang pertama”. Akhrnya Rasulullah s.a.w memerintahkan keduanya
untuk membaca. Setelah mereka membaca Rasulullah menganggap baik bacaannya. Seteleah
menyaksikan hal itu, terhapuslah dalam dirikku sikap untuk mendustakan, tidak
seperti halnya diriku ketika masa jahiliyah. Nabi menjawab demikian tatkala
beliau melihat diriku bersimba peluh karena kebingungan, ketika itu keadaan kami
seolah-olah berkelompok-kelompok dihadapan Allah Yang Maha Agung. Setelah melihat
saya dalam keadaan demikian, beliau menegaskan pada diriku dan berkata: “Hai
Ubay! Aku diutus untuk membaca Qur’an dengan suatu huruf lahjah (dialek), kemudian
aku meminta pada Jibril utnuk memudahkan umatku, dia membacakannya dengn huruf
kedua, aku pun meminta lagi padanya untuk memudahkan umatku, lalu ia menjawab
untuk ketiga kalinya. Hai Muhammad, bacalah Qur’an dalam tujuh lahjah dan
terserah padamu Muhammad apakah setiap jawabanku kau susul dengan pertanyaan/permintaan
lagi.
Kemudian aku menjawabnya: “Wahai Allah!Ampunilah umatku, ampunilah
umatku dan akan kutangguhkan yang ketiga kalinya pada saat dimana semua makhluk
mencntaiku sehingga Nabi Ibrahim a.s.
Imam qurthubi berkata: “Denyutan hati ini (dalam jiwa
Ubay) akibat dari sabda Rasullullah s.a.w ketika orang-orang bertanya
kepadanya: “Bahwasannya kami mendapatkan sesuatu dalam diri kami, dimana
seseorang merasa berat sekali untuk mengatakannya. Rasulullah bertanya: “Apakah
sudah kalian temui jawabannya?” “Ya” jawab mereka. Rasulullah bersabda: “Itu
adalah iman yang jelas”.
4. Al-hafizh Abu Ya’la dalam musnad kabrnya meriwayatkan: “bahwa Utsman r.a.
pada suatu hari ia berkata diatas mimbar: “Aku sebut nama Allah teringat seorang
lelaki yang mendengar Rasulullah s.a.w berkata: bahwa Al-Qur’an diturunkan
dengan tujuh huruf yang kesemuany tegas lagi sempurna”. Ketika Umar berdiri
para hadirin berdiri sehingga tidak terhitung dan mereka menyaksikan pula bahwa
Rasulullah s.a.w bersabda: “Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuanya tegas dan lengkap”.
Kemudian Utsman r.a. berkata: “Saya menyaksikan bersama mereka”.
5.
Imam
Muslim
D.
Perbedaan
Pendapat Ulama Seputar Tujuh Huruf
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud tujuh huruf
ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibnu
Hayyan mengatakan, “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi
tiga puluh lima lipat .”[5]Namun
kebanyakan pendapat-pendapat itu bertumpang tindih, dibawah
ini pendapat para ulama mengenai makna tujuh huruf:
1. Sebagan besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh
huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna
.Dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu
makna ,maka Al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafazh sesuai dengan ragam
bahasa tersebut tentang makna yang satu itu.Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka
Al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafazh atau lebih saja. Kemudian
mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa
adalah bahasa Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dn Yaman.
Menurut
Abu Hatim As-Sijistani, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Azad, Rabiah, Hawazin
dan Sa’ad bin Abi Bakar.
Dan
diriwayatkan pula pendapat yang lain.[6]
2. Yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari
bahasa-bahasa Arab yang ada,yang mana dengannyalah Al-Qur’an
diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an
secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu
bahasa yang paling fasih dikalangan bangsa Arab, meskipun sebagian
besarnya dalam ahasa Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Hudzail, Tsaqif, Hawazin,
Kinanah, Tamim, atau Yaman: karena itu maka
secara keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut. Pendapat
ini berbeda dengan pendapat sebelumnya,karena yang dimaksud dengan tujuh huruf
dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran diberbagai surat Al-Qur’an,
bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Menurut Abu Ubaid, yang dimaksud bukanlah setiap kata
boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam
Al-Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy ,sagian bahasa yang lain bahasa Hudzail, Hawazin,
Yaman, dan lail-lain. Dia menambahkan bahwa sebagian bahasa-bahasa itu lebih
beruntung karena dominan dalam Al-Qur’an.[7]
3. Sebagian ulama menyebutkan, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh
segi, yaitu: amr (perintah), nahyu (larangan), wa’ad (ancaman), jadal (perd
4. ebatan), qashash (cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu,
halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.
Diriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Kitab
umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengan satu huruf .Sedang Al-Qur’an
diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf, yaitu; zair
(larangan), amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.”[8]
5.
Segolongan
ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal
yang didalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu:
a.
Ikhtilaful
asma’ (perbedaan kata benda): dalam bentuk mufrad, mudzakar dan
cabang-cabangnya, seperti tatsniyah, dan jamak ta’nits.
b.
Pebedaan
dalam segi i’rab
c.
Perbedaan
dalam tashrif
d.
Perbedaan
dalam taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (memgakhirkan).
e.
Perbedaan
dalam segi ibdal
f.
Perbedaan
dengan sebab adanya penambahan dan pengurangan.
g.
Perbedaan
lahjah dengan pembacaan tafkhim (terbal) dan tarqiq (tipis) fathah dan imalah, izhar
dan idgham, hamzah dan tashil.
h. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bahwa bilangan tujuh itu
tidak bisa diartikan secara harfiah, tetapi angka
tujuh tersebut hanya sebagai simbol kesempurnaan menurut kebiassaan orang Arab. Dengan demikian, maka kata
tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Al-Qur’an merupkan batas dan
sumber utama bagi semua perkataan orang Arab yang telah mencapai puncak
kesempurnaan tertinggi.
i.
Ada
juga ulama yang berpendapat ,yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah
qira’at sab’ah.
E.
Hikmah
dari Turunnya Al-qur’an dengan Tujuh Huruf (ahruf sab’ah)
1.
Untuk
memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, yang
setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing ,dan belum terbiasa menghafal
syariat, apalagi
mentradisikannya. Hikmah ini ditegaskan oleh beberapa hadits antar lain dalam
ungkapan berikut:
Ubay
berkata, “Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bertemu dengan Jibril di
Ahjar Mira’ lalu berkata “Aku ini diutus kepada umat yang ummi. Diantara mereka
ada anak-anak, pembantu, kakek-kakek dan nenek-nenek.” Maka kata Jibril, “Hendaklah
mereka membaca Al-qur’an dengan tujuh huruf.”[9]
2. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an bagi
naluri kebahasaan orang Arab. Al-qur’an banyak mempunyai pola susunan bunyi
yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah menjadi naluri
bahasa orang-orang Arab, sehinggga
setiap orang Arab dapat mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan
irama naluri mereka dan lahjah kaumnya ,tanpa mengganggu kemukjizatan Al-Qur’an
yang ditantangkan Rasulullah kepada mereka. Mereka memang tidak mampu menghadapi
tantangan tersebut. Sekalipun demikian, kemukjizatan itu bukan terhadap bahasa,
melainkan terhadap naluri kebahasaan mereka itu sendiri.
3. Kemukjizatan Al-Qur’an dalam
aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab, perubahan bentuk lafazh pada sebagian huruf dan
kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan berbagai hukum
daripadanya. Hal inilah yang menyebabkan Al-Qur’an relevan untuk setiap masa. Oleh
karena itu, para fuqaha dalam istimbat dan ijtihadnya berhujjah dengan qira’at
tujuh huruf ini.
BAB III
SIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa:
1. Al-Qur’an diturunkan dengan dua tahap yaitu, tahap pertama dari Lauhil
Mahfuzh ke sama’ (langit) dunia secara sekaligus pada malam lailatul qadar dan
tahap kedua dari sama’dunia ke bumi secara bertahap dalam masa dua puluh tiga
tahun.
2. Hikmah diturunkannya Al-Qur’an yaitu:
a. Meneguhkan
hati atau tanggapan Nabi s.a.w dalam menghadapi celaan dari orang-orang musyrik
b. Meringankan Nabi Muhammad s.a.w. dalam menerima wahyu
c. Tadarruj (selangkah demi selangakah ) dalam menetapakan hukum
samawy
d. Mempermudah dalam menghapal Al-Qur’an
dan memberi pemahaman bagi kaum muslimin serta mempermudah pemahaman dan
penghayatan mereka.
e. Sejalan dengan kisah-kisah yang tejadi dan mengingatkan atas
kejadian itu
f. Petunjuk terhadap asal (sumber) Al-Qur’an bahwasannya Al-Qur’an
diturunkan dari Dzat yang Maha Bijaksana lagi Terpuji
3. Berbedanya pendapat para ulama tentang
turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
4. Hikmah
dari Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf (ahruf sab’ah)
1. Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi,yang
setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing ,dan belum terbiasa menghafal
syariat ,apalagi mentradisikannya.
2. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an bagi
naluri kebahasaan orang Arab.
3. Kemukjizatan Al-Qur’an dalam
aspek makna dan hukum-hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qaththan, Manna. 2006. Pengantar Ilmu Studi Qur’an. Jakarta:Pustaka Al-kautsar
Shabuny,Mohammad
A.A.1987.Pengantar studi
al-qur’an (At-Tibyan).Bandung: Al-Ma’arif.
Muhammad, Adnan, Drs. 2005. Ulumul Qur’an. Jakarta:
Restu Illahi
Riyadh. 2011. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarta:
Maha Jaya.
[1]
Hadits riwayat Hakim
[2]
Hadits riwayat Thabrany
[3]
Hadits riwayat Hakim dan Baihaqi
[4]
Shaheh Bukhari III,hal.227
[5]
As-Suyuthi berkata,”penafsiran ulama tentang makna hadits ini tidak kurang dari
empat puluh pendapat (Al-Itqan,1/45
[6]
Lihat Al-Itqan ,1/47
[7]
Al-Itqan,1/47
[9]
H.R. Ahmad,Abu Dawud ,At-Tirmidzi,dan Ath-Thabari dengan isnad yang shahih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar